Minggu, 18 Januari 2015

Problematika Pedagogis dalam Pendidikan Multikultural

A.  Pengertian Problematika Pedagogis dalam Pendidikan Multikultural
Disadari bahwa untuk membangun bangsa dengan beragam adat dan budaya yang tersebar di wilayah yang sangat luas dan terpencar, diperlukan suatu strategi dan upaya yang sistematis untuk melakukannya. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah, yang diantaranya yaitu:

  1. Meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif, demokratis, dan tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual.
  2. Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara.
  3. Memperluas akses pendidikan nonformal  bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barangkali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia salah satunya denganmengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dansaling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Pendidikan multikultural merupakan suatu tuntutan pedagogis (pendidikan)  dalam rangka studi kultural yang melihat proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Multikultural adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat. Pengalaman hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai berbeda, yang kadang tampil berlatar belakang etnis berbeda. Adanya perbedaan itulah yang sering memicu konflik karena memandang diri lebih benar, baik, dan berkembang. Pada ranah pendidikan adanya perbedaan tersebut dapat menimbulkan adanya suatu gesekan yang menjadi problema dalam proses belajar mengajar.
Dalam konteks pendidikan, bahwa semua persoalan dalam masyarakat akan dapat diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya. Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika masyarakat sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalahproses belajar mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki realitas masyarakat tersebut, perlu dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis multikultural. Pendidikan multikultural merupakan proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural ditengarai menjadi alat pengakomodasi yang efektif, salah satu contohnya dalam menghadapi problema masalah perbedaan etnik atau budaya pada proses pembelajaran. Pada realitas pendidikan multikultural,siswa dihadapkan pada konsep-konsep yang berbeda. Konsep-konsep tersebut diantaranya konsep hidup sukses, sistem keyakinan, mengajak siswa masuk kedalam semangat budaya lain, melihat dunia dengan cara yang dilakukan orang lain dan menghargai segala kekuatan dan keterbatasannya. Pendidikan multikultural juga mengolah kemampuan yang lebih halus melalui moral dan budi pekerti, kerelaan untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang orang lain, dan kerelaan untuk mendengar orang lain dengan simpati dan sensitif.
Pendidikan multikultural hendaknya mampu menanamkan kesadaran diri siswa bahwa mereka anggota komunitas etnik dan kultural, warga dari komunitas politik, dan juga bagian dari manusia secara umum. Selain itu, sistem pendidikan multikultural dapat membantu siswa memahami sejarah, struktur sosial, budaya, bahasa, dan agama dalam komunitas kultural dan politik agar mereka dapat memahami diri sendiri secara lebih baik dan menemukan jalan di sekitar komunitas tersebut (Parekh dalam Ruminiati, 2011:7).

B.  Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh  negara lain. Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan yang akan dipecahkan dengan Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis budaya. Problem tersebut dapat dijadikan bahan pengembangkan Pendidikan Multikultural di Indonesia ini.
Problema kemasyarakatan pendidikan multikultural di Indonesia antara lain:
     1.  Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan rasa, misalnya peristiwa Sampit. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam  mengantisipasi  hal  itu,  keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah  tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
    2.  Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan  demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan  ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep  “putra  daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam  membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep  pembagian  wilayah  menjadi propinsi atau  kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
    .3.  Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“Integrating Force”) seluruh pluralitas negeri  ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai  integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi  sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan.
Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde  Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan  dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
     4.  Fanatisme Sempit
Fanatisme  dalam  arti  luas  memang diperlukan, namun yang salah yaitu fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan  terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan  dan  kebanggaan  pada  korps memang baik dan sangat diperlukan, namun kecintaan dan kebanggaan itu  bila ditunjukkan  dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.
     5.   Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada  tarik  menarik  antara  kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin  mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah  kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di  sisi  multikultural,  kita  melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
     6.  Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada  kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah  yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang  menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
     7.  Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam Memberitakan Peristiwa
Di  antara  media  massa  tentu ada ideologi yang  sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat  perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran.
Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif, sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.
Ketika  penggusuran  gubuk  liar  yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak  atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk  liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan  putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.

C.  Problema Penyakit Budaya yang Ada di Indonesia
Konflik bukan untuk dimusuhi, tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing individu yang terlibat dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe, etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape goating terhadap pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik.
Negara ini membutuhkan solusi yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatisme di daerah-daerah. Konflik di daerah lebih sering disebabkan oleh tumbuh berkembangnya berbagai penyakit budaya sebagai berikut:
    1.   Prasangka
Definisi prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya berjudul The Nature of Prejudice pada tahun 1954. Istilah ini berasal daripraejudicium, yang berarti pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu.  Menurut Allport, Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. Allport memang sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan yangberbasis etnis diebut etnisisme.
Menurut John (1981) prasangka adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan  komunikasi karena orang yang berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa manusia  untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan terhadap fakta. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang tidak dapat berpikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif.
Menurut Allport, prasangka negatif terhadap etnik merupakan sikap antipati yang dilandasi oleh kekeliruan atau generalisasi yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan pengalaman yang salah. Karena itu, sejak dulu sampai sekarang, pengertian prasangka telah mengalami transformasi. Pada, mulanya prasangka merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tidak teruji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala kontinum seperti suka/tidak suka atau mendukung/tidak mendukung terhadap sifat-sifat tertentu (Liliweri, 2011). Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport ini disanggah oleh psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (Authoritarian Personality) mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian, kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka (Prejudiced Persons) yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkanstatus dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir tentang suatu stereotipe) dan konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab sebagai berikut:
  • Generalisasi yang keliru pada perasaan.
  • Stereotipe antaretnik.
  • Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami”.  
        2. Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan tampilan kounikasi verbal
maupun non verbal. Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang
menunjukkan perbedaan “kami” (in group) yang selalu dikaitkan dengan superioritas  kelompok in group dan yang cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu ”mereka” (out group).
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat positif maupun negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan sikap, stereotipe memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang disukai/tidak (favorability).
Allan G. Johnson (1986) menegaskan bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk memberi label atau cap tertentu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau memandang rendah kelompok lain.
Misalnya, seseorang dari suku tertentu diberi label, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang menyimpulkan ini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka memang banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang dia dapatkan dari televisi yang memperlihatkan bahwa sebagian besar pengacara yang terkenal di Indonesia dan sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata berasal dari orang Batak. Masyarakat akan menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas yang ada pada dirinya. Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, perlu diberikan informasi yang benar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan suku, ras, agama dan antar golongan.
Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan digeneralisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe:
  • Karakter atau sifat tertentuyang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan  berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan itu suka bersolek.
  • Bentuk atau sifat perilaku turun temurunsehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnyaorang Ambon itu keras.
  • Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe itu dalam stereotipe individu dan stereotipe sosial. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan individu dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman individu). Sedangkan stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu telah menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Pemberian stereotipe merupakan gejala yang nampak alami dalam proses  hubungan antarras atau etnik sehingga tidak mungkin jika tidak melakukan stereotipe. Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman dan pergaulan dengan orang lain maupun  dengan anggota kelompok kita sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan  komunikasi.
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
  • Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
  • Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
  • Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
  • Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
       3. Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat hubungan yang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber  pada pola-pola tertentu. Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Jadi dari beberapa penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan  standar budayanya sendiri.
     4.  Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa Perancis dan Italia “razza”. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang Eropah berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam sebagai  warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa orang kulit  putih mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit hitam yang dianggap  sangat primitif. Hal tersebut berpengaruh terhadap stratifikasi dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, ekonomi, politik, di amana orang kulit hitam merupakan subordinasi orang kulit putih.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan  pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Hasil  penelitian menunjukkan bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karaktersitik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.
Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar. Nah sekarang, carilah ciri-ciri kelompok Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Kemudian cari contohnya. Mana negara yang mayoritas penduduknya memiliki ciri-ciri ketiga kelompok itu. Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras  seringkali merupakan kategori yang bersifat non-biologis. Ras hanya merupakan  konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras: Eropah, Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turut  mencerminkan siang hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah. Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultural dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
      5.  Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah  pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat,  kebiasaan, atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.
       6. Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating) mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di Jerman, Hitler  mengkambing hitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan  ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat  kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa Aria (Jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa Yahudi.

D.  Problema Pembelajaran Multikultural
Sesudah mengetahui problema kemasyarakatan dan problema penyakit budaya yang harus diatasi dengan pendidikan multikultural, ternyata penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan pelaksanaannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis Budaya dapat  mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif dan sadar budaya (Dikti, 2004: 5). Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam Pembelajaran Berbasis Budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang  terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal, antara lain:
  1. Guru kurang mengenal budayanya sendiri, baik budaya lokal maupun budaya peserta didik.
  2. Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didik, terutama dalam mata pelajaran yang akan diajarkan.
  3. Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing- masing dalam konteks pengalaman belajar yang diperoleh.
Pada kenyataannya dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas ang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain:

1.      Masalah “seleksi dan integrasi isi” (content selection and integration) mata pelajaran:
1.    Sejauh mana guru mampu memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran.
2.    Sejauh mana guru dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik.
2.      Masalah proses mengkonstruksikan pengetahuan (the knowledge construction process
    1. Aspek budaya manakah yang dapat dipilih sehingga dapat membantu peserta didik memahami konsep secara lebih tepat.
    2. Bagaimana guru dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya secara ilmiah.
    3. Bagaimana guru tidak ragu dalam mengembangkannya. Misalnya, kincir air sebagai budaya lokal dapat dipakai untuk menjelaskan PLTA.
3.      Masalah mengurangi prasangka (Prejudice Reduction)
      1. Bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. masalah kesetaraan status budaya peserta didik yang budayanya jarang dijadikan media pembelajaran.
      2.  Bagaimana agar guru dapat mengusahakan “kerjasama” (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan “kompetisi,” tetapi sebuah kebersamaan. Contoh jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk  pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa). Dengan mengambil contoh yang sepadan, di samping guru dapat menghindari “prasangka” bahwa dia mengutamakan unsurbudaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
    4.  Masalah kesetaraan pedagogi (Equity Paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
  1. Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka. Contoh; Malin Kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang (Yogyakarta).
  2. Obat-obatan : jamu (Jawa), minyak kayu putih (Maluku).
  3. Tekstil/tenun : batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara),songket (Melayu Deli, Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali).
  4. Perahu Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
  5. Seni teater: Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), Ketoprak (Yogyakarta).
  6. Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut Meutia (Aceh), Kartini (Jawa Tengah).
Hasanah (2011) mengemukakan beberapa masalah utama pendidikan di Indonesia antara lain:
  1. Mahalnya Biaya pendidikan
Masalah utama pendidikan di Negeri ini yaitu mahalnya biaya pendidikan. “Pendidikan bermutu itu mahal” Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT). Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
  1. Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif.
Akhir-akhir ini sudah banyak terdengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunanya yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah salah satu bukti betapa rendahnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.
  1. Ketidak Jelasan Tujuan Pendidikan
Dalam undang-undang nomor 4 tahun l950, telah di sebutkan secara jelas tentang tujuan pendidikan dan pengajaran yang pada intinya, ialah untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air berdasarkan pancasila dan kebudayaan kebangsaan Indonesia, namun dalam kenyataan yang terjadi terhadap tujuan pendidikan yang begitu ideal tersebut belum mampu menghasilakn  manusia-manusia sebagaimana yang dimaksud dalam tumpukan kata-kata dalam rumusan tujuan pendidikan  yang ada, bahkan terjadi sebaliknya, yakni terjadi kemerosotan moral, kehidupan yang kurang demokratis, terjadi kekacauan akibat konflik di masyarakat dan lain lain, hal ini merupakan suatu indikasi bahwa tujuan pendidikan selama ini belum dikatakan berhasil, mungkin disebabkan adanya ketidak jelasan atau kekaburan dalam memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya.
  1. Ketidak Serasian Kurikulum
Kebanyakan kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah masih berisi tentang mata pelajaran-mata pelajaran yang beraneka ragam, sejumlah jam-jam pelajaran dan nama-nama buku pegangan untuk setiap mata pelajaran. Sehingga pengajaran yang berlangsung kebanyakan menanamkan teori-teori pengetahuan melulu, akibatnya para lulusan yang di hasilkan kurang siap pakai bahkan miskin ketrampilan  dan tidak mempunyai kemampuan untuk berproduktifitas di tengah-tengah masyarakatnya, karena muatan kurikulum yang di terima di sekolah-sekolah memang tidak di persiapkan untuk menjadikan lulusan dari peserta didik untuk dapat mandiri dimasyarakatnya.
  1. Ketiadaan Tenaga Pendidik Yang Tepat dan Cakap
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara, misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.
Masih banyak di jumpainya suatu slogan yang berbunyi “tak ada rotan akarpun jadi” , menunjukkan suatu gambaran betapa rendahnya kualitas tenaga kependidikan yang ada, karena harus di pegang oleh tenaga-tenaga pendidikan yang bukan dari ahlinya. Padahal menugaskan dan mendudukkan seseorang sebagai pendidik yang tidak di bina atau dibekalinya ilmu kependidikan dan yang bukan dalam bidangnya, sangatlah menimbulkan kerugian yang sangat besar, diantaranya terjadinya pemborosan biaya, terjadinya pemerosotan mutu hasil pendidikan, lebih jauh lagi akan mempersiapkan warga masyarakat di masa mendatang dengan pribadi-pribadi yang  memiliki kualitas rendah sehingga tak mampu bersaing dalam kehidupan yang serba problematis.
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
  1. Adanya Pengukuran yang Salah Ukur
Dalam masalah pengukuran terhadap hasil belajar yang sering di sebut dengan istilah ujian atau evaluasi, ternyata dalam prakteknya terjadi ketidak serasian antara angka-angka yang di berikan kepada anak didik sering tidak obyektif, di mana pencantuman angka-angka nilai yang begitu tinggi sama sekali tidak sepadan dengan mutu riil pemegang angka-angka nilai itu. Ketika mereka di terjunkan ke masyarakat, tidak mampu berbuat apa-apa yang setaraf dengan tingkat pendidikannya. Jelasnya tanpa adanya pengukuran yang obyektif dapat di pastikan tidak akan pernah terwujud tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Contoh lainnya yaitu pendidikan berorientasi hasil, nilai UN yang menjadi standar kelulusan. Siswa bisa dinyatakan lulus apabila telah memenuhi nilai minimal UN, tak peduli bagaimana hasil belajar siswa selama tiga tahun. Hasil akhir berupa Nilai UN menjadi harga mati bagi para siswa untuk bisa lulus namun tidak mengindahkan bagaimana cara mereka mendapatkan nilai itu. Setiap kali UN mau digelar, entah dari mana datangnya tiba-tiba saja tersebar bocoran jawaban UN padahal UN sendiri belum dilaksanakan. pendidikan kita tak peduli proses bagaimana mereka bisa mencapai hasil tapi lebih menyukai hasilnya. Pendidikan semacam ini sebenarnya secara tidak langsung mengajar pada siswa bahwa apapun cara selama bisa mencapai hasil yang baik maka itu sah-sah saja. Jadi, jangan salahkan siswa yang ketika sudah besar mendadak jadi koruptor karena mereka ‘sukses’ menimba ilmu tentang pendidikan hasil, apapun caranya yang penting bisa kaya.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman.
Salah satu prasarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah lebih di tentukan oleh sejauh mana kuwalitas sumber daya masyarakatnya. Kualitas suatu bangsa sangat di tentukan oleh peran serta mutu pendidikan yang di pergunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan.
 Sumber : Phierda di https://phierda.wordpress.com/2013/03/11/problematika-pedagogis-dalam-pendidikan-multikultural/
Comments
0 Comments

0 komentar: