A. Pengertian
Problematika Pedagogis dalam Pendidikan Multikultural
Disadari bahwa untuk membangun
bangsa dengan beragam adat dan budaya yang tersebar di wilayah yang sangat luas
dan terpencar, diperlukan suatu strategi dan upaya yang sistematis untuk
melakukannya. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan tujuan pembangunan pendidikan
nasional jangka menengah, yang diantaranya yaitu:
- Meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif, demokratis, dan tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual.
- Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara.
- Memperluas akses pendidikan nonformal bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan.
Pertimbangan-pertimbangan itulah
yang barangkali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di
Indonesia salah satunya denganmengembangkan model pendidikan
multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu
perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dansaling menghargai.
Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan,
kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Pendidikan multikultural
merupakan suatu tuntutan pedagogis (pendidikan) dalam rangka studi
kultural yang melihat proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
Multikultural adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar
warga masyarakat. Pengalaman hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata
nilai berbeda, yang kadang tampil berlatar belakang etnis berbeda. Adanya
perbedaan itulah yang sering memicu konflik karena memandang diri lebih benar,
baik, dan berkembang. Pada ranah pendidikan adanya perbedaan tersebut dapat
menimbulkan adanya suatu gesekan yang menjadi problema dalam proses belajar
mengajar.
Dalam konteks pendidikan, bahwa
semua persoalan dalam masyarakat akan dapat diperbaiki melalui proses
pendidikan. Artinya kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan
sebaliknya. Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika masyarakat
sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam
pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalahproses belajar
mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki realitas masyarakat tersebut, perlu
dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk melalui proses
pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis multikultural.
Pendidikan multikultural merupakan proses pembelajaran yang lebih mengarah pada
upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan
dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural
ditengarai menjadi alat pengakomodasi yang efektif, salah satu contohnya dalam
menghadapi problema masalah perbedaan etnik atau budaya pada proses
pembelajaran. Pada realitas pendidikan multikultural,siswa dihadapkan pada
konsep-konsep yang berbeda. Konsep-konsep tersebut diantaranya konsep hidup
sukses, sistem keyakinan, mengajak siswa masuk kedalam semangat budaya lain,
melihat dunia dengan cara yang dilakukan orang lain dan menghargai segala
kekuatan dan keterbatasannya. Pendidikan multikultural juga mengolah kemampuan
yang lebih halus melalui moral dan budi pekerti, kerelaan untuk melihat diri
sendiri dari sudut pandang orang lain, dan kerelaan untuk mendengar orang lain
dengan simpati dan sensitif.
Pendidikan multikultural
hendaknya mampu menanamkan kesadaran diri siswa bahwa mereka anggota komunitas
etnik dan kultural, warga dari komunitas politik, dan juga bagian dari manusia
secara umum. Selain itu, sistem pendidikan multikultural dapat membantu siswa
memahami sejarah, struktur sosial, budaya, bahasa, dan agama dalam komunitas
kultural dan politik agar mereka dapat memahami diri sendiri secara lebih baik
dan menemukan jalan di sekitar komunitas tersebut (Parekh dalam Ruminiati,
2011:7).
B. Problema
Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Problema Pendidikan Multikultural
di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh
negara lain. Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan yang akan dipecahkan
dengan Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran
berbasis budaya. Problem tersebut dapat dijadikan bahan pengembangkan
Pendidikan Multikultural di Indonesia ini.
Problema kemasyarakatan
pendidikan multikultural di Indonesia antara lain:
1.
Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal
sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah
budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang
multikultural. Namun kondisi budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan
menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul
jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan
pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik.
Konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh
adanya keragaman identitas etnis, agama dan rasa, misalnya peristiwa Sampit.
Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang
memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi
hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti
ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen
konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh
langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan
Multikultural. Adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing
warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling
berkomunikasi.
2.
Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi
dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang
sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan
budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke
daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya.
Bila pada masa Orde baru, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih
tersentralisasi, maka kini tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah
kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan
dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut
kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu
kedaerahan.
Konsep “putra daerah”
untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan
tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi
sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan
agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif
dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan
dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat
orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh
isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan)
dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di
antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian
wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi
akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan
simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan
isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari
kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
.3. Kurang
Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan
adanya kekuatan yang menyatukan (“Integrating Force”) seluruh pluralitas
negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian
nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi
dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang
mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin
semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan
antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan.
Pada masa Orde Baru kebijakan
dirasakan terlalu tersentralisasi, sehingga ketika Orde Baru tumbang,
maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu
ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal
yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada
hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun
dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan
pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh
untuk menyatukan kedaerahan ini. Bangsa Indonesia sangat membutuhkan semangat
nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah
persatuan dan kesatuan bangsa ini.
4.
Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam
arti luas memang diperlukan, namun yang salah yaitu fanatisme
sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar,
paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang
banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek
(bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang
berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi
buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan
dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim
kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan
kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan, namun
kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap
memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit
ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara
oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang
kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini.
Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku
dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah
disintegrasi bangsa.
5.
Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik
menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan
multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan
berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah
mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh
ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan
pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti
pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan
damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan
diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang
berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di sisi
multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri
dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan
pemerintah pusat yang ada di Jawa ini, contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi
Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan
multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM
yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah
mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya.
6.
Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa
SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata
berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki
kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa
di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan
kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam
demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema
demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang
ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas dua puluh ribu orang akan ikut
terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah
banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah
terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi
yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada
kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu
meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang
dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air
ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi
kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam
peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai
mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah
tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.
7.
Keberpihakan yang Salah dari Media Massa, Khususnya Televisi Swasta dalam
Memberitakan Peristiwa
Di antara media
massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan
dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui
hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka
juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan
media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya
Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang
banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik
dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang
merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan
selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan
setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi
orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya
ketimuran.
Kasus perceraian rumah tangga
para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif,
sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi
trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan.
Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron
karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan
segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan
modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang
melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus
membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik.
Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di
negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi
tontonan.
Ketika penggusuran
gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang
memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan
aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang
ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong
praja. Ironi itu nampak bila yang disorot yaitu tangisan bayi/orang tua dibandingkan
dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran
gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol
kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering dikonotasikan
secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat
mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.
C. Problema Penyakit
Budaya yang Ada di Indonesia
Konflik bukan untuk dimusuhi,
tapi dikelola secara arif dan bijaksana. Masing-masing individu yang terlibat
dalam konflik perlu menjernihkan pikiran dan hati dari prasangka, stereotipe,
etnosentrisme, rasisme dan diskriminasi dan scape goating terhadap
pihak lain. Karena pemahaman terhadap adanya penyakit budaya tersebut merupakan
kunci utama dalam proses resolusi dan manajemen konflik.
Negara ini membutuhkan solusi
yang memuaskan dalam menghadapi ancaman konflik dan separatisme di
daerah-daerah. Konflik di daerah lebih sering disebabkan oleh tumbuh
berkembangnya berbagai penyakit budaya sebagai berikut:
1.
Prasangka
Definisi prasangka pertama kali
dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis
konsep itu dalam bukunya berjudul The Nature of Prejudice pada
tahun 1954. Istilah ini berasal daripraejudicium, yang berarti
pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman
yang dangkal terhadap orang atau kelompok tertentu. Menurut Allport,
Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes.
Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan. Antipati itu bisa langsung
ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok tertentu. Allport memang
sangat menekankan antipati bukan sekedar antipati pribadi tetapi antipati
kelompok.
Johnson (1986) mengatakan
prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe
kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk
menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai
yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut rasisme, sedangkan
yangberbasis etnis diebut etnisisme.
Menurut John (1981) prasangka
adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah
dan tidak fleksibel. Kesalahan ini mungkin saja diungkapkan secara langsung
kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap
negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan
kelompoknya sendiri.
Prasangka merupakan salah satu
rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yang
berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan
komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa manusia untuk menarik
kesimpulan atas dasar prasangka buruk tanpa memakai pikiran dan pandangan
terhadap fakta. Karena itu, bila prasangka sudah menghinggapi seseorang, orang
tidak dapat berpikir logis dan obyektif dan segala apa yang dilihatnya akan
dinilai secara negatif.
Menurut Allport, prasangka
negatif terhadap etnik merupakan sikap antipati yang dilandasi oleh kekeliruan
atau generalisasi yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan
pengalaman yang salah. Karena itu, sejak dulu sampai sekarang, pengertian
prasangka telah mengalami transformasi. Pada, mulanya prasangka merupakan
pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang tidak
teruji terlebih dahulu. Pernyataan itu bergerak pada skala kontinum seperti
suka/tidak suka atau mendukung/tidak mendukung terhadap sifat-sifat tertentu
(Liliweri, 2011). Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan
emosional dan negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang dibandingkan
dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport ini disanggah
oleh psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter (Authoritarian
Personality) mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di
wilayah selatan AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari
kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe
kepribadian. Dengan demikian, kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan
rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka (Prejudiced
Persons) yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian diatas,
dapat disimpulkan bahwa prasangka mengandung sikap, pengertian, keyakinan dan
bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran, sedangkan diskriminasi
mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindakan
nyata, maka prasangka sudah berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan
menyingkirkanstatus dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan
komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung
tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), kognitif (selalu berpikir
tentang suatu stereotipe) dan konasi (kecenderungan perilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas
sebab-sebab sebagai berikut:
- Generalisasi yang keliru pada perasaan.
- Stereotipe antaretnik.
- Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “kami”.
2.
Stereotipe
Stereotipe merupakan salah satu
bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas
tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori ras, jenis
kelamin, kebangsaan, dan tampilan kounikasi verbal
maupun non verbal. Stereotipe
merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang
menunjukkan perbedaan “kami” (in
group) yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in group dan
yang cenderung mengevaluasi orang lain yang dipandang inferior yaitu ”mereka”
(out group).
Stereotipe adalah pemberian sifat
tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subyektif, hanya
karena dia berasal dari kelompok yang lain. Pemberian sifat itu bisa sifat
positif maupun negatif. Verdeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah
sikap dan juga karakter yang dimiliki seseorang dalam menilai karakteristik,
sifat negatif maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang
itu pada kelompok tertentu. Sebagaimana halnya dengan sikap, stereotipe
memiliki valensi dari positif hingga negatif atas sesuatu yang disukai/tidak
(favorability).
Allan G. Johnson (1986)
menegaskan bahwa stereotipe adalah keyakinan seseorang untuk
menggeneralisasikan sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang
lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini
menimbulkan penilaian yang cenderung negatif atau bahkan merendahkan kelompok
lain. Ada kecenderungan untuk memberi label atau cap tertentu pada kelompok
tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang
negatif atau memandang rendah kelompok lain.
Misalnya, seseorang dari suku
tertentu diberi label, pandai bicara untuk orang dari daerah Batak. Seseorang
menyimpulkan ini karena dari pengalaman dia mengetahui bahwa mereka memang
banyak bicara. Ditambah dengan pengetahuan yang dia dapatkan dari televisi yang
memperlihatkan bahwa sebagian besar pengacara yang terkenal di Indonesia dan
sering muncul dari pemberitaan di televisi itu ternyata berasal dari orang
Batak. Masyarakat akan menggeneralisasikan secara salah dari informasi terbatas
yang ada pada dirinya. Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah
air ini, perlu diberikan informasi yang benar tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan suku, ras, agama dan antar golongan.
Seringkali, keberadaan individu
dalam suatu kelompok telah dikategorisasi dan digeneralisasi. Miles Hewstone
dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe:
- Karakter atau sifat tertentuyang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya wanita Priangan itu suka bersolek.
- Bentuk atau sifat perilaku turun temurunsehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnyaorang Ambon itu keras.
- Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompok pada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Tajfel (1981) membedakan bentuk
atau jenis stereotipe itu dalam stereotipe individu dan stereotipe sosial.
Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan individu dengan
menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak
tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan pengalaman
individu). Sedangkan stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu telah
menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok
sosial lain.
Pemberian stereotipe merupakan
gejala yang nampak alami dalam proses hubungan antarras atau etnik
sehingga tidak mungkin jika tidak melakukan stereotipe. Stereotipe itu bersifat
unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalaman
dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok kita
sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan komunikasi.
Hewstone dan Giles (1986)
mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe:
- Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tertentu berdasarkan sifat psikhologis yang dimiliki. Semakin negatif generalisasi itu kita lakukan, semakin sulit kita berkomunikasi dengan sesama.
- Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap proses informasi individu.
- Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
- Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3.
Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan paham
paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906),
seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Sumner berpandangan bahwa
manusia pada dasarnya individualistis yang cenderung mementingkan diri sendiri,
namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat
hubungan yang antagonistik (pertentangan). Supaya pertentangan itu dapat
dicegah, perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada
pola-pola tertentu. Mereka yang mempunyai folkways yang sama cenderung
berkelompok dalam suatu kelompok yang disebut etnis. Jadi dari beberapa
penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa etnosentrisme adalah
kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan
standar budayanya sendiri.
4.
Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa
Perancis dan Italia “razza”. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois
Bernier, antropolog Perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan
manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah.
Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarkhi manusia berdasarkan karakteristik
fisik atas orang Eropah berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga
masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang Afrika yang berkulit hitam
sebagai warga kelas dua. Atau ada ideologi rasial yang berpandangan bahwa
orang kulit putih mempunyai misi suci untuk menyelamatkan orang kulit
hitam yang dianggap sangat primitif. Hal tersebut berpengaruh terhadap
stratifikasi dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, ekonomi, politik, di
amana orang kulit hitam merupakan subordinasi orang kulit putih.
Ras sebagai konsep secara ilmiah
digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Buffon, anthropolog Perancis, untuk
menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter.
Pada abad 19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok,
yaitu Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras
selalu dikaitkan dengan pemberian karaktersitik seseorang atau sekelompok orang
ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik
seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.
Pembedaan seperti itu hanya
mewakili faktor tampilan luar. Nah sekarang, carilah ciri-ciri kelompok
Kaukasoid, Negroid dan Mongoloid. Kemudian cari contohnya. Mana negara yang
mayoritas penduduknya memiliki ciri-ciri ketiga kelompok itu. Karena tidak ada
ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan
kategori yang bersifat non-biologis. Ras hanya merupakan konstruksi
ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultural, Carus
menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultural. Ada empat jenis ras: Eropah,
Afrika, Mongol dan Amerika yang berturut-turut mencerminkan siang hari
(terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning) dan sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultural dan
merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide
sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan
fisik dan perilaku sosial.
5.
Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan
keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan
diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat
tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan, atau
hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan,
selama ada prasangka, di sana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang
sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan
atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan
kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya.
6.
Kambing Hitam (Scape Goating)
Teori kambing hitam (scape goating)
mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak
adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi
depresi ekonomi di Jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang Yahudi
sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi di negara itu. Ada
satu pabrik di Auschwitz, Polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5
juta orang Yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan.
Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut
yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Jerman untuk dibuat kain. Richard
Chamberlain berteori bahwa bangsa Aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang
mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa Aria (Jerman) ini
merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di Jerman ini disebabkan oleh bangsa
Yahudi.
D. Problema Pembelajaran
Multikultural
Sesudah mengetahui problema
kemasyarakatan dan problema penyakit budaya yang harus diatasi dengan
pendidikan multikultural, ternyata penggunaan budaya lokal (etnis) dalam
pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang
terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan
pelaksanaannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, Pembelajaran Berbasis
Budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir
kreatif dan sadar budaya (Dikti, 2004: 5). Namun demikian, penggunaan budaya
lokal (etnis) dalam Pembelajaran Berbasis Budaya tidak terlepas dari berbagai
permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak
persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa permasalahan awal
Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal, antara lain:
- Guru kurang mengenal budayanya sendiri, baik budaya lokal maupun budaya peserta didik.
- Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didik, terutama dalam mata pelajaran yang akan diajarkan.
- Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing- masing dalam konteks pengalaman belajar yang diperoleh.
Pada kenyataannya dari
keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses
pembelajaran, terutama dalam kelas ang budaya etnis peserta didiknya sangat
beragam, antara lain:
1. Masalah
“seleksi dan integrasi isi” (content selection and integration) mata
pelajaran:
1. Sejauh
mana guru mampu memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan
topik mata pelajaran.
2. Sejauh
mana guru dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang
diajarkan, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik.
2. Masalah proses
mengkonstruksikan pengetahuan (the knowledge construction process)
- Aspek budaya manakah yang dapat dipilih sehingga dapat membantu peserta didik memahami konsep secara lebih tepat.
- Bagaimana guru dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya secara ilmiah.
- Bagaimana guru tidak ragu dalam mengembangkannya. Misalnya, kincir air sebagai budaya lokal dapat dipakai untuk menjelaskan PLTA.
3. Masalah
mengurangi prasangka (Prejudice Reduction)
- Bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. masalah kesetaraan status budaya peserta didik yang budayanya jarang dijadikan media pembelajaran.
- Bagaimana agar guru dapat mengusahakan “kerjasama” (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan “kompetisi,” tetapi sebuah kebersamaan. Contoh jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa). Dengan mengambil contoh yang sepadan, di samping guru dapat menghindari “prasangka” bahwa dia mengutamakan unsurbudaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.
4. Masalah kesetaraan
pedagogi (Equity Paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru
terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak
sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur
budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan
pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan
pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya
dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
- Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka. Contoh; Malin Kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang (Yogyakarta).
- Obat-obatan : jamu (Jawa), minyak kayu putih (Maluku).
- Tekstil/tenun : batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara),songket (Melayu Deli, Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali).
- Perahu Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
- Seni teater: Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), Ketoprak (Yogyakarta).
- Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut Meutia (Aceh), Kartini (Jawa Tengah).
Hasanah (2011) mengemukakan
beberapa masalah utama pendidikan di Indonesia antara lain:
- Mahalnya Biaya pendidikan
Masalah utama pendidikan di
Negeri ini yaitu mahalnya biaya pendidikan. “Pendidikan bermutu itu mahal”
Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT). Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan
fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah
Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan
BOS yang diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah
mahalnya biaya pendidikan ini.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan
Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki
akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk,
segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun,
pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala
Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala
Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
- Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan
merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang
kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung
secara efektif.
Akhir-akhir ini sudah banyak
terdengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunanya
yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah salah
satu bukti betapa rendahnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan di
Indonesia.
- Ketidak Jelasan Tujuan Pendidikan
Dalam undang-undang nomor 4 tahun
l950, telah di sebutkan secara jelas tentang tujuan pendidikan dan pengajaran
yang pada intinya, ialah untuk membentuk manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat
dan tanah air berdasarkan pancasila dan kebudayaan kebangsaan Indonesia, namun
dalam kenyataan yang terjadi terhadap tujuan pendidikan yang begitu ideal
tersebut belum mampu menghasilakn manusia-manusia sebagaimana yang
dimaksud dalam tumpukan kata-kata dalam rumusan tujuan pendidikan yang
ada, bahkan terjadi sebaliknya, yakni terjadi kemerosotan moral, kehidupan yang
kurang demokratis, terjadi kekacauan akibat konflik di masyarakat dan lain
lain, hal ini merupakan suatu indikasi bahwa tujuan pendidikan selama ini belum
dikatakan berhasil, mungkin disebabkan adanya ketidak jelasan atau kekaburan
dalam memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya.
- Ketidak Serasian Kurikulum
Kebanyakan kurikulum yang
dipergunakan di sekolah-sekolah masih berisi tentang mata pelajaran-mata
pelajaran yang beraneka ragam, sejumlah jam-jam pelajaran dan nama-nama buku
pegangan untuk setiap mata pelajaran. Sehingga pengajaran yang berlangsung
kebanyakan menanamkan teori-teori pengetahuan melulu, akibatnya para lulusan yang
di hasilkan kurang siap pakai bahkan miskin ketrampilan dan tidak
mempunyai kemampuan untuk berproduktifitas di tengah-tengah masyarakatnya,
karena muatan kurikulum yang di terima di sekolah-sekolah memang tidak di
persiapkan untuk menjadikan lulusan dari peserta didik untuk dapat mandiri
dimasyarakatnya.
- Ketiadaan Tenaga Pendidik Yang Tepat dan Cakap
Guru sebagai pilar penunjang
terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen
strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara, misalnya dalam hal
penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh
masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. Kurangnya jumlah guru
ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan.
Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat
berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.
Masih banyak di jumpainya suatu
slogan yang berbunyi “tak ada rotan akarpun jadi” , menunjukkan suatu gambaran
betapa rendahnya kualitas tenaga kependidikan yang ada, karena harus di pegang
oleh tenaga-tenaga pendidikan yang bukan dari ahlinya. Padahal menugaskan dan
mendudukkan seseorang sebagai pendidik yang tidak di bina atau dibekalinya ilmu
kependidikan dan yang bukan dalam bidangnya, sangatlah menimbulkan kerugian
yang sangat besar, diantaranya terjadinya pemborosan biaya, terjadinya
pemerosotan mutu hasil pendidikan, lebih jauh lagi akan mempersiapkan warga
masyarakat di masa mendatang dengan pribadi-pribadi yang memiliki
kualitas rendah sehingga tak mampu bersaing dalam kehidupan yang serba
problematis.
Sudah selayaknya profesi sebagai
seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara
intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya
berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan
fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model
pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.
- Adanya Pengukuran yang Salah Ukur
Dalam masalah pengukuran terhadap
hasil belajar yang sering di sebut dengan istilah ujian atau evaluasi, ternyata
dalam prakteknya terjadi ketidak serasian antara angka-angka yang di berikan
kepada anak didik sering tidak obyektif, di mana pencantuman angka-angka nilai
yang begitu tinggi sama sekali tidak sepadan dengan mutu riil pemegang
angka-angka nilai itu. Ketika mereka di terjunkan ke masyarakat, tidak mampu
berbuat apa-apa yang setaraf dengan tingkat pendidikannya. Jelasnya tanpa
adanya pengukuran yang obyektif dapat di pastikan tidak akan pernah terwujud
tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Contoh lainnya yaitu pendidikan
berorientasi hasil, nilai UN yang menjadi standar kelulusan. Siswa bisa
dinyatakan lulus apabila telah memenuhi nilai minimal UN, tak peduli bagaimana
hasil belajar siswa selama tiga tahun. Hasil akhir berupa Nilai UN menjadi
harga mati bagi para siswa untuk bisa lulus namun tidak mengindahkan bagaimana
cara mereka mendapatkan nilai itu. Setiap kali UN mau digelar, entah dari mana
datangnya tiba-tiba saja tersebar bocoran jawaban UN padahal UN sendiri belum
dilaksanakan. pendidikan kita tak peduli proses bagaimana mereka bisa mencapai
hasil tapi lebih menyukai hasilnya. Pendidikan semacam ini sebenarnya secara
tidak langsung mengajar pada siswa bahwa apapun cara selama bisa mencapai hasil
yang baik maka itu sah-sah saja. Jadi, jangan salahkan siswa yang ketika sudah
besar mendadak jadi koruptor karena mereka ‘sukses’ menimba ilmu tentang
pendidikan hasil, apapun caranya yang penting bisa kaya.
Terkait dengan kondisi pendidikan
di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran
penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan
Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial
politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan
pendidikan membutuhkan rasa aman.
Salah satu prasarat untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera adalah lebih di tentukan oleh
sejauh mana kuwalitas sumber daya masyarakatnya. Kualitas suatu bangsa sangat
di tentukan oleh peran serta mutu pendidikan yang di pergunakan oleh bangsa
tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan.