Rabu, 24 Desember 2014

Konseling Madilog

Tulisan singkat ini terinspirasi dari karya Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka tentang Materialisme, Dialektika dan Logika yang disingkat MADILOG. Tokoh pejuang Indonesia yang ramai pikiran tapi sepi apresiasi. Walaupun Madilog ini bukanlah pemikiran yang baru, karena sudah menjadi materi perseteruan jauh sebelum Tan Malaka lahir, tapi saya melihatnya memiliki persinggungan yang serius dengan pekerjaan penulis sebagai guru bimbingan konseling. Madilog masih sangat layak untuk menjadi bahan atau referensi dalam gerakan konseling sebagai sebuah gaya hidup yang terus berkembang dan berubah sesuai konteksnya.
Konseling untuk berkembang maka harus terus diuji dengan berbagai jenis teori, ideologi serta realitas. Kemampuan melewati tesa-antitesa-sintesa yang akan mengantarkannya menjadi ilmu panutan yang terus diminati perkembangannya. Apalagi konseling adalah ilmu yang bergerak menjadi sebuah praktek hubungan antara manusia, sehingga tidak boleh gagal membaca realitas sebagai basis utama materialisme, dialektika dan logika yang dibesarkan oleh Hegel dan Karl Marx.
Kenapa ide ini menjadi penting? Lihatlah bagaimana para konselor dan guru konseling telah memenggal berbagai macam ikatan tradisional yang menghubungkan antara manusia. Hubungan antara guru dengan siswa bukan lagi karena kedalaman empati, sentimen budaya serta budi utama lainnya, melainkan ditukar dengan rupiah atas nama tunjangan profesional (baca:sertifikasi). Kegiatan konseling tak ubahnya mesin-mesin pabrik yang bekerja penuh kontrol di mana proses produksinya dikendalikan pemilik modal dan kekuasaan. Dengan wibawa dan kecerdasan palsu, mesin penasehat itu mengisi botol pengetahuan siswa dengan berbagai macam ide dan kesadaran antah berantah.
Apa hubungannya antara konseling sebagai praktek hubungan antarmanusia dengan materialisme sebagai sistem ideologi? Titik pertemuan keduanya adalah realitas. Golongan Marxis sebagai penyokong utama madilog benar-benar yakin bahwa cara kita meng-individu ditentukan dan dibentuk oleh konteks sosial politik dan material.  Kenyataanlah yang  memberi bentuk atas pola hidup yang mesti dijalani. Marx dalam Howard (2005), menulis bahwa sejarah ide-ide telah mengubah produksi intelektual layaknya perubahan atas produksi material. Ide-ide yang berkuasa dalam setiap jaman adalah selalu ide-ide dari kelas yang berkuasa. Identitas individu dan masyarakat tidaklah terpisah dari proses-proses sosial yang terjadi di sekitar kita.
Konseling itu membaca realitas
Bukan ingin memaksakan Carl Rogers sebagai pendukung utama Marxis, tapi Person Centre Therapy yang dia kembangkan adalah praktek yang terbuka untuk dirubah dan diperbaiki, bukan sebagai pendekatan yang lengkap dan pasti bagi terapi. Menurut Rogers dalam Corey (2009) bahwa pendekatan yang dia kembangkan terbuka lebar terhadap perubahan karena pendekatan ini bukanlah dogma. Perhatikanlah bagaimana Rogers mendefenisikan konseling sebagai sebuah hubungan individu dalam rangka merubah sikap dan perilaku. Sangat jelas ada prinsip dialektis dalam pengertian ini. Realitas itu adalah materi yang berubah dan di sisi lain sikap dan perilaku individu juga berubah. Terapi tidak berasal dari ide-ide konselor, tapi berangkat atas pembacaan dan pemahaman atas realitas masalah yang dihadapi konseli. Sekali lagi bukan ingin memaksa Rogers (baca:konseling) menjadi penyokong materialisme, tapi prinsip-prinsip yang dikembangkan Rogers sangatlah dialektis.
Konseling yang berbasis madilog adalah praktek nyata pembebasan atas sejarah yang mistik dan asing. Realitaslah yang harus melahirkan kesadaran, bukan sebaliknya. Kurikulum pendidikan dengan segala khayalannya, bayangan, prediksi atau apapun namanya hanya akan melahirkan kesadaran palsu, yang gagal membaca dan membuat sejarahnya sendiri karena tidak bertolak dari kenyataan objektif yang dialami. Pentingnya realitas sebagai objek kajian juga dikemukakan Vygotsky (1978), bahwa sesungguhnya pengetahuan itu berawal dari lingkungan sosial kemudian diinternalisasi oleh individu. Konteks sosial memiliki peran besar dalam mempengaruhi pemikiran, keinginan dan sikap individu.Tidak ada maksud menjustifikasi tokoh konseling konstruktivismeini sebagai pendukung atas tulisan madilog ini, tapi objek kajianVygotsky didasarkan atas realitas sosial.
Madilog tidak mengizinkan untuk menerima peristiwa dunia dengan segala problematikanya  apa adanya sebagai sesuatu yang seharusnya begitu (taken for granted). Proses belajar tidak berhenti hanya sekedar mempelajari gejala keajaiban Tuhan tanpa berani bergerak bertanya penyebabnya. Setiap pengajar termasuk konselor dan guru konseling memfasilitasi mengajarkan anak didiknya mempertanyakan setiap kejadian sebagaimana Paulo Freire di Brazilia yang mengajarkan anak didiknya secara kritis mempertanyakan setiap peristiwa. Aktif dan kritis membaca realitas itulah yang disebut panggilan ontologis menjadi subjek dan menamai dunia sendiri sebagai hasil refleksi atas hasil refleksinya. Ketika memahami realitas, maka manusia dapat memilah-milah dalam proses sejarah yang dialektis, kata Freire (1999).
Konselor madilog (baca:Marxis) adalah pribadi yang mampu menerapkan prinsip-prinsip dialektis dalam lingkungan pengajarannya. Menjadi dialektis berarti menjadi logis, memahami bahwa dunia materi termasuk masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan pergerakan. Air yang dipanaskan tidak hanya akan berhenti sebagai perubahan kuantitatif semata tapi akan bergerak menjadi kualitatif. Perubahan kualitas dari air menjadi uap melahirkan kesadaran baru. Perubahan-perubahan ini akan terjadi pada semua lini kehidupan termasuk dalam masyarakat pendidikan. Inilah yang disebut dialektika.
Menjadi konselor madilog berarti berani berubah, bertarung demi keyakinan atas kenyataan objektif yang dialami. Materi senantiasa melewati pertarungan sengit melahirkan tesa baru sebagai cikal perubahan yang juga baru sebagai sebuah kebenaran yang harus diunggah kepada para peserta didik. Lahirnya teknik dan strategi konseling yang terbarukan adalah konsekuensi logis yang berakibat langsung tertolaknya penyeragaman metode, teknik dan pendekatan-pendekatan konseling yang selama ini berlangsung. Lebih jauh lagi, segala bentuk standar (standar kompetensi, standar profesional,  standar pelayanan) yang disematkan pada konselor atau guru bimbingan konseling harus dikaji ulang menyesuaikan dengan situasi dan perkembangan lingkungan setempat.  
Jangan menghakimi mereka sebelum menceritakan perseteruannya sendiri dengan realitas sosial. Dengarkanlah apa yang terjadi. Biarkanlah kenyataan menceritakan apa adanya sebagaimana Ernest Hemingway bercerita tentang dunia tanpa proyeksi-proyeksi tambahan. Ini adalah wasit Rogers kepada setiap konselor yang menjalankan praktik person centre therapy. Pesan ini berimplikasi pada berkembangnya setiap pendekatan karena tidak ada model yang sama. Hukum logika-dialektis mengatakan bahwa pertempuran antara tesa-antitesa-sintesa akan menghasilkan tesa-tesa baru dilain waktu. Artinya hasil membaca dan mendengar realitas sosial ini akan melahirkan pendekatan-pendekatan yang baru pula dalam konseling. Konseling madilog ini salah satunya. Mungkin disuatu waktu, akan muncul pendekatan konseling berbasis logika-dialektis.
Tulisan ini juga sesungguhnya model penyembuhan bagi penulis yang pertahanan dirinya hampir runtuh.
Sumber : http://usmandjabbar.blogspot.com/2014/12/konseling-madilog.html
Comments
0 Comments

0 komentar: