Rabu, 24 Desember 2014

KONSELING RASA SAINS; PARADOKS BIMBINGAN KONSELING DI SEKOLAH

Kegelisahan seorang Hidajat Nataatmadja tentang paradoks ilmu pengetahuan dewasa ini tertuang dalam tulisannya “Wajah Pembaharu dan Pembaharuan di Ambang Kebangkitan” yang rilis tahun 2000 lalu. Menurutnya ledakanPrincipia ditangan Isaac Newton berhasil mengantar ilmu fisika menjadi aktor utama yang berdiri di frontir dunia keilmuan menggantikan peran ilmu filosofis yang kini menempel hanya sebagai hiasan sejarah. Ilmu fisika kini menjadiilmu panutan dari semua disiplin. Ini adalah sebuah paradoks, bagaimana mungkin disiplin ilmu yang “paling sederhana” bisa menjadi “ilmu panutan”, kata Hidajat.
Phil Brown (2005), dalam Psikologi Marxis mensinyalir bahwa salah satu sebab dunia sekitar tidak dapat dilihat secara jernih karena selalu belajar berpikir secara pasti mengenai sesuatu yang tidak kelihatan dalam realitas. Dalam memandang dunia empiris, saintisme ditempatkan sebagai kebenaran absolut sehingga ilmu pengetahuan menjadi bebas nilai tanpa sifat sosial, politik atau bias etika.
Gugatan terhadap saintisme ini juga bisa dilihat dalam Psikologi Sains yang ditulis Abraham Maslow (2004), bahwa sains ortodoks yang menganggap dirinya sudah benar dengan seluruh perangkat-perangkatnya harus segera diluruskan. Selama ini sains ortodoks menganggap dirinya sebagai satu-satunya jalan yang tepat dan dapat diandalkan. Padahal sains sebagai doktrin filosofis, tidak menyadari dirinya sebagai produk ruang dan waktu dan bukan kebenaran abadi yang tidak dapat ditawar.
Jika kita hanya memiliki martil, maka kita akan terbiasa memperlakukan segala sesuatu sebagai paku, kata Maslow. Menurutnya, ketika menginginkan pengetahuan tentang pribadi atau masyarakat maka sains mekanistik sama sekali gagal. Prosedur fisika sama sekali tidak berguna sebagai sebuah pendekatan. Diperlukan langkah secara terus menerus mencari dan merehumanissasi kembali metodologi untuk membuatnya lebih mampu berurusan dengan pribadi teutama pribadi-pribadi yang sepenuhnya manusiawi dan seutuhnya. Individu sebagai pribadi yang unik dan khas serta sebagai anggota tunggal dari komunitasnya harus harus didekati, didengar, dilihat secara total.
Konseling Rasa Sains
Tulisan ini mencoba melihat posisi bimbingan konseling disekolah dalam perspektif kegelisahan seorang Hidajat, gugatan Brown serta rehumanisasi Maslow. Bahwa mekanisasi sains tidak dapat digunakan dalam menilai, menggeneraliasi serta menyimpulkan seorang manusia. Manusia di sekolah tidak dapat diidentifikasi dan dikelompokkan dalam satu bentuk dan pola tertentu karena keunikan yang dia miliki untuk berbeda dengan yang lain.
Penulis sepakat dengan Maslow bahwa sampai saat ini cara yang terbaik untuk memahami seorang anak adalah mendengarkan cerita tentang dirinya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Manusia tidak bisa dipahami hanya dengan mengamati dan mengukur perilaku yang dilakonkan. Tidak ada yang pernah menduga sebelumnya selain dirinya sendiri bahwa Adolf Hitler, siswa disipilin, rapi, pendiam, bukan penganggu atau perusuh sekolah ternyata suatu hari mampu mengubah sejarah dunia dengan melakukan kejahatan kemanusiaan yang paling kelam.
Anehnya, pemerintah kemudian menggagas kurikulum 2013 yang sebab utamanya hanya karena peserta didik kita memiliki kemampuan sains yang sangat rendah dibandingkan dengan peserta didik negara lain. Dari 65 negara peserta Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2009, menempatkan Indonesia diperingkat 10 atas kemampuan membaca, menghitung dan kemapuan dibidang sains. Dengan kurikulum 2013 ini maka diharapkan peserta didik mampu meningkatkan kemampuan ilmiahnya yang logis dan rasional.
Bagaimana posisi bimbingan konseling? Bimbingan konseling bertanggungjawab atas kegiatan peminatan peserta didik. Atas hasil pengamatan dan pengukuran guru konseling, akan menempatkan peserta didik duduk pada kelas tertentu. Dengan deteksi potensi menggunakan instrument sains (tes psikologi) siswa akan dikelompokkan sesuai dengan kemampuan yang  dimilikinya. Sekali lagi tentang sains.
Ibarat di sebuah lembaga pemasyarakatan, unit bimbingan konseling bertugas menjalankan fungsi-fungsi inreach dengan memediasi dan memfasilitasi anggota mencapai perkembangan tertentu. Sayangnya unit tersebut bekerja sesuai dengan kaidah, proses dan hasil yang diharapkan oleh lembaga tertentu, bukan karena kongruensi-nya berhubungan dengan anggota lapas yang unik dan berbeda dari yang lain. Unit bimbingan konseling menjadi bagian dari sistem yang bekerja karena pretense dan tentu saja sangat direktif. Konseling bukan lagi sebuah hubungan tapi menjadi alat untuk berhubungan.
Bagi penulis, dengan peran ini, telah mendorong bimbingan konseling keluar dari kemuliannya yang awalnya dialektis berubah menjadi mekanis. Bimbingan konseling dijebak atau terjebak masuk ke dunia yang sesungguhnya sudah lama dia tinggalkan sejak Abraham Maslow memproklamirkan humanisasi sains, ketika Carls Rogers mengubah pandangan dari direktif ke nondirektif. Dalam perpektif Marxis, konseling bahkan menjadi alat reseptif dan menguasai.

Lihatlah bagaimana suasana konseling di sekolah hari ini. Tak ubahnya dengan pusat perbengkelan atau pusat reparasi di mana yang rusak akan diperbaiki bahkan komponennya diganti dengan komponen yang baru. Peserta didik yang malas akan diberi sedikit kejutan untuk lebih rajin melalui hukuman atau ancaman. Kadang-kadang guru bimbingan konseling nyambi sebagai tukang cukur Madura hanya karena kelas IPA mensyaratkan siswa tidak boleh berambut gonrong.
Sumber : http://usmandjabbar.blogspot.com/2014/11/konseling-rasa-sains-paradoks-bimbingan.html
Comments
0 Comments

0 komentar: