Assalamualaikum Wr.Wb
HIDUP MAHASISWA...
HIDUP BK...
HIDUP IMABKIN...
Sejenak Berbincang Substansi dan Paradigma Bimbingan
dan Konseling diIndonesia
Sebelumnya, saya menyampaikan
bahwa tulisan ini saya dapatkan dari web mengenai BK, tanpa ada yang dikurangi
atau dilebihkan, saya forward-kan tulisan ini agar kiranya teman-teman BK dan
para praktisi BK dapat menganalisis dan bisa kembali mendiskusikannya bersama
di forum ini atau di forum manapun. Jzkh…..
Cukup lama juga kita tidak
asing mendengar Bimbingan Konseling mewarnai perjalanan hidup
keilmuan yang ada. Sebagian orang telah dengan sengaja untuk terjun di bidang
ini. Bergelut, mangkaji, diskusi, memberikan konsep hingga berujung pada suatu
temuan ilmiah yakni teori. Hal ini seakan membawa nama BK menjadi harum dan
dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu proses ilmiah menangani problema
manusia. Berpuluh tahun kata konseling dijadikan wacana dari pertalian
antara dua orang yang saling berbincang untuk menemukan suatu solusi. Sejak
puluhan tahun BK telah menjelma menjadi keilmuan mandiri, yang dibuktikan
dengan munculnya jurusan-jurusan BK baik di barat, pun di Indonesia. Walaupun
pada akhirnya munculnya jurusan itu masih dimonopoli kampus-kampus pendidikan
atau kampus yang berorientasi pada wilayah keguruan.
Secara keilmuan, banyak
definisi-definisi yang dipelajari di kampus mencoba memberikan pemahaman bagi
mahasiswa mengenai makna konseling, mulai dari mengarahkan, membimbing,
pendekatan psikologis atau sekedar curahan hati. Dalam konteks yang cukup
serius, -seperti yang ditekankan dalam literatur konseling- konseling menemukan
jatidirinya dalam asumsi kapada cengkraman etis profesional, komersial dan
persepsi-persepsi yang menisbahkan konseling kepada unsur profesi. Hal itu
didasarkan kepada buku-buku pengantar Bimbingan dan Konseling dalam tafsirkn BK
dengan penjustifikasian wacana-wacana itu tadi. Banyak kalangan pada
akhirnya, terilhami setting pikiran seperti itu tadi yakni interpretasi BK
kepada wilayah yang lebih terlihat personal. Ekses dari hal tersebut seakan
menjadikan konseling sebagai salah satu kegiatan yang bernuansa soft atau
lembut.
Mengapa akhirnya penulis
mempunyai pandangan tersebut? Pertanyaan ini berawal ketika penuls menjalani
keseharian menjadi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan di salah satu perguruan
tinggi negeri di Jakarta. Hal itu dilanjutkan kepada beberapa
literatur-literatur konseling yang ada, serta untaian-untaian dosen yang
menceritrakan mengenai teknis konseling. Seperti Prof Zakiyah Dradjat yang
mencoba menjelaskan tentang metode Non Direktif dengan referensi pengalaman
beliau selama menjadi konselor.
Seiring zamanpun banyak
beberapa pendekatan konseling yang hadir untuk memberi warna baru dan
berorientasi pada pemecahan masalah. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya metode
RET, Trait dan Factor, analisis transaksional, Klinikal, dan banyak lagi.
Ada beberapa hal yang mesti
didiskusikan mengenai karakter BK saat ini. Cara yang baik ialah dengan
melakukan reinterpretasi mengenai makna BK. Setidaknya ada sekitar 5 masalah
yang menjadi “biang keladi” dalam merias wajah BK dewasa ini. Gugatan secara
etis layak untuk dimunculkan mengingat sekarang kita sedang bicara mengenai
pengembangan BK.
- Menangani/Mengobati
Konseling
tidak tepat rasanya jika hanya dilakukan untuk mengahadapi masalah. Banayak
pihak menilai Konselor bekerja menangani masalah yang ada, dan berkesudahan
ketika masalah itu terselesaikan juga ataupun ketika klien tidak lagi
mendatangi konselor. Berangkat dari perdebatan antara wilayah kerja BK dan
Psikoterapi. Tidak jarang pakar merangkum distingsi (perbedaan) kedua hal
tersebut. Seperti dirangkum oleh Latipun mengenai perbedaan keduanya,
disebutkan bahwa BK menangani masalah yang situasional sedangkan Psikoterapi
menangani emosional yang berat neurosis. Namun titik tekannya bukan hanya pada
kualitas kasus, tetapi pada periodeisasi masalah. Ada baiknya BK tidak hanya
disibukkan pada bentuk layanan mengobati masalah, tetapi ada bentuk yang
dilupakan sebagai ciri khas kesempurnaan serta kemapanan BK yaitu mencegah dan
membangun.
- Lisan
Dalam
era globalisasi ini dimana segala hal serba baru dan kreatif, banyak ilmu
dipacu untuk mengepakkan sayapnya dalam menangani krirsis manusia modern. Tak
terkecuali BK yang patut menyeburkan diri dalam pusaran ini. Dunia
jurnalisme sebagai dunia tulis menulis dapat dijadikan partner untuk mengemas
BK melalui tulisan yang termuat dalam media massa. Internet? Rasanya diandalkan
dalam mewujudkan visi ini, seperti yang dilakoni e-psikologi dengan konseling
via emailnya. Atau lebih menariknya guru BK dapat membuat semacam rubrik BK
dengan kemasan menarik untuk memikat siswanya. Hal ini dirasa perlu karena
tidak setiap orang dapat mendatangi konselor, selain itupun banyak individu
yang canggung berbicara kepada konselor.
- Institusi
Pendidikan
Permalahan
ini cukup urgen, bahwa BK ialah ada di Sekolah, secara tak langsung.
Memepersempit ruang kerja BK. Ini tidak lepas dari “monopoli” jurusan BK yang
diletakkan di kampus keguruan dan pendidikan. Dan khususnya di Indonesia
fenomena ini pun belum dirasa berkembang secara signifikan untuk membentuk BK
non pendidikan. Disudut realita, sebenarnya tidak semua kampus memojokkan
BK ke wilayah ekslusifitas pendidikan, toh ada beberapa keguruan yang mencoba
untuk lepas dalam pergulatan pemikiran dengan tujuan akhir pendidikan. membuka
studi konseling karir, lintas budaya atau sosial kemasyarakatan. namun hidupnya
jurusan itu di kampus-kampus dengan latar keguruan, akhirnya sulit membenamkan
rasa apriori pada 2 wilayah yaitu keilmuan dan ruang kerja.
- Individu
Individu
pun tidak kalah pentingnya dalam menciptakan sebuah nilai atau paradigma.
Seperti yang disebut diatas tadi, tentang stigma BK sebagai jurusan yang soft
memang tidak bisa dielakkan, ketika BK masih berfokus pada penanganan individu.
Penulis melihat stigma individu nyang ditanamkan kepada BKI, berkenaan dari
berbagai teori yang ada. Secara historis wajar jika teori itu berorientasi
kepada individu, mengingat teori BK belum lepas dari penciptanya yang berasal
dari psikologi atau psikiatri. Sebutlah Carl Rogers, Ivan Pavlov, BF Skinner,
Alfred Adler dan sebagainya. BK sebagai event monopoli individu, tentu tidak
etis diletakkan pada asumsi yang salah. Akan Tetapi berangkat dari corak suatu
budaya dan masyarakat yang juga bangga dengan jati diri massa, perlu
dipertimbangkan. Banyak individu yang merasa nyaman dengan pendekatan BK secara
massa. Analogi mudahnya seperti pertandingan sepakbola. Ada orang yang nyaman
menonton sendiri, namun banyak juga yang lebih menikmati jalannya pertandingan
secara beramai-ramai, atau pula berangkat langsung ke stadion, melihat bintang pujaan.
Ini berarti BK pun dapat menarik, jika dikemas dalam bungkus massa, dengan
dampak positif para klien dapat terpacu adrenalinnya. Ada yang perlu yang
diingat bagi model intervensi secara massa. BK secara massa harus pula
dibingkai yang bersifat dinamis, progresif dan mengikuti pola-pola yang kreatif
sesuai tuntutan zaman.
- Inisiatif
Klien
Perguruan
tinggi mempunyai 3 karakter yang dipelihara secara luhur yang populis disebut
tridharma. Pengajaran, penelitian serta pengabdian masyarakat. Secara etis tiga
hal itu mesti dipraktikan juga dengan kreatif dan penuh dinamisasi. Konselor
sebagai pengabdi masyarakat mesti berperan aktif dalam menciptakan suatu
tatanan masyarakat madani. Konsekuensi logis dari hal ini adalah aktivasi BK
digalakkan dalam suatu setting kemasyarakatan. Tidak sepantasnya konselor hanya
menuggu inisiatif klien datang, dan berorientasi komersial. Hal ini sebagai
tantangan LSM BK yang mempunyai target-target pembinaan masyarakat.
Membuka
Tabir substansi Bimbingan dan Konseling.
Perdebatan mengenai bimbingan
dan konseling memang jarang mengemuka, namun bukan menjadi suatu pedoman untuk
tidak kita meintensitaskannya. Hal ini berguna sebagai titik tolak untuk menuju
dinamika bimbingan dan konseling itu sendiri. Akhirnya wilayah ini memang harus
disosialisasikan. Selama ini diskusi yang dilakukan, lebih sering kepada bentuk
metode ataupun pengulasan suatu kasus. itu artinya perdebatan konseling selama
ini lebih diarahkan kepada bentuk konseling. Padahal selain itu ada satu hal
lagi yang jauh lebih penting atau dapat juga disebut kontroversial yaitu
substansi. Titik tekan inilah yang penulis akan tembak. Penulis melihat
wilayah ini cukup urgen untuk kita bedah dan urai dalam bentangan keilmuan
bimbingan dan konseling. Karena landasan dari wajah BK salah satunya dimainkan
oleh peran serta substansi. Ibarat sayuran substansi dapat menjadi sayuran itu
sendiri, atau dapat pula menjadi garam. Satu hal yang terus mengganjal
dalam batin yang berkaitan dengan substansi BK ialah tidak berkembangnya
-secara signifikan- ilmu bimbingan dan konseling baik di kampus maupun dalam
praktiknya. Sekian lama ilmu bimbingan dan konseling dikungkung dalam area
pendidikan untuk disalurkan ke sekolah-sekolah baik menengah maupun atas.
Fenomena ikatan perseptif
antara BK dan dunia pendidikan, akhirnya melahirkan sebuah permasalahan lain
yaitu paradigma. pendidikan yang lekat dalam nuansa BK, disadari atau tidak
akhirnya menggiring opini masyarakat tentang peran serta BK. Terlebih anggapan
yang mengansumsikan BK sebagai polisi sekolah, toh terus bergulir seperti bola
panas. Hal ini sebenarnya tidak jauh dari kegiatan BK itu sendiri yang belum
mengepakkan sayap secara lebar. Contoh yang dapat direnungkan adalah
kegiatan-kegiatan seperti hanya mengajar di kelas, menangani kasus perkelahian,
memberi nasehat kepada siswa yang membolos, memanggil anak yang berpacaran dan
lain-lain. Pada bentuk itu kita dapat sepakati bahwa itu wajar. Tetapi secara
paradigma tentu melenceng dari komitmen. Apalagi BK terseret pada arus yang
memaksanya untuk memakai topeng hitam-putih kasus. (Perlu dikritisi)!!! Karenanya
bersandar dari anggapan itu. Masyarakat juga keliru dalam meintepretasikan
peran BK. Tentunya akan ada konsekuensi logis dari itu semua, mengingat
problema-problema yang dihadapi BK di sekolah belum ditanggulangi secara
massif. Beberapa point itu menjadi menarik untuk didiskusikan di sela-sela
perkuliahan atau sesama oknum BK, jika mau lebih dari itu, caranya dengan
masyarakat. Efektifitas diskusi adalah perlu dalam menjelaskan substansi BK.
Dengan syarat setiap pendiskusi haruslah berpikir kreatif, dinamis, ikhlas,
serta mempunyai keinginan kuat untuk merubah kondisi yang ada.
Reintepretasi:
Memperdebatkan kembali Apa itu substansi BK?
Sebenarnya wilayah substansi
BK cukup sulit diterjemahkan bagi penulis. Bagi penulis pribadi, hal ini
disebabkan karena beberapa hal. Pertama-tama mungkin selama ini penulis tidak
mendapatkan partner yang tepat untuk menjawab telisikan ini. Banyak oknum yang
masih canggung-atau bahkan memang belum tersadar- untuk berwacana sekedar
menemukan substansi BK. Ada hal lain yang justru menarik, ide substansi BK yang
ingin digulirkan oleh beberapa partner sharing, ternyata terlalu jauh untuk
dikatakan sebagai substansi yang ilmiah, sebab menjadi melenceng dari etika BK
itu sendiri.
Faktor yang kedua ialah
sedikitnya buku-buku atau tulisan-tulisan ilmiah yang mencoba menawarkan konsep
substansi secara jelas. Fenomena yang banyak terjadi justru berkembang pada
wilayah filosofi suatu metode atau pendekatan konseling. Untunglah
situasi diatas hanya menjadi kerikil-kerikil yang membuat penulis bersemangat,
untuk mencoba bergelut pada ide ini. Selain itupun, pengalaman dan kondisi yang
malah menjadi “teman” atau motivatior bagi keteguhan tekad menjawab keraguan
mengenai substansi BK.
Ada dua hal menjadi
pertimbangan dalam meracik substansi BK yang pas di era sekarang. Pertama,
Kritisisme dalam membangun argumentasi BK. Ini menjadi dasar untuk mendirikan
bangunan substansi BK. Lalu yang kedua adalah mengikat konteks BK yang
mempunyai pohon psikologi untuk menjadi pegangan.
Pertama membangun Kritisisme.
Sebagai mahasiswa yang hidup di jurusan dengan nafas BK. Terkadang kerap dicap
sebagai mahasiswa lembut atau soft, bahkan kalem, pendiam, gak neko-neko.
karena BK tidak sedialektika ilmu politik, ekonomi, fillsafat, sosiologi dll.
Jadi, yang mereka jadikan untuk mengkritik BK, lebih ditekankan pada keilmuan
BK yang lebih mengarah kepada wilayah personal.
Perlu dicatat tak ada ilmu
dimanapun juga, dapat berkembang dengan menyisihkan unsur kritisisme di
dalamnya. Karena bagian dari menifestasi ilmu itu ya kritis itu sendiri. Kita
ambil contoh yaitu filsafat. Sebagai ibu ilmu, filsafat banyak berkembang
menjadi ilmu-ilmu baru berkat semangat kritis para punggawanya. Di lingkup
psikologi pun mengambil cara kritis dalam kepakkan sayapnya. Psikoanalisis
klasik yang menjadi luar biasa di era pada waktu itu, lama-kelamaan menghilang
karena nafas para kritikusnya, seperti C.G Jung, yang ialah seorang Freudian
sebelumnya. Atau kritikus psikoanalisis lainnya seperti Alfred Adler, yang
endingnya menelurkan bentuk psikologi individu. Maka itu kita harus yakin
terhadap kritisisme sebagai salah satu tonggak melahirkan substansi BK.
Kritisisme pun harus dilakukan dengan visi yang konstruktif dan relevan agar
target tercapai.
Kedua, mengikat konteks BK
dengan pohon psikologi. Ada kisah menarik ketika salah seorang dosen dari
Bandung yang ditugaskan untuk mengakreditasi jurusan penulis. Ketika selesai
melakukan dialog dengan pihak fakultas, Sang dosenpun-yang juga assesor bagi
akreditasi jurusan penulis- melihat ruangan praktik BK yang bertempat di Lt.7.
ketika sampai, sang dosenpun kaget melihat ruangan BK bertuliskan “ruang
konsultasi”. Kadang terjadi ambiguitas masalah yang penting ini. Di satu sisi
secara makna tidak ada perbedaan. Tetapi pada realitanya seharusnya kedua hal
itu dipakai dalam konteks yang berbeda. Perlu diperhatikan dengan jelas.
Konseling tidak terfokus pada suatu ruang saja dan mempunyai sentuhan
psikologis, sedangkan konsultasi digunakan pada satu ruang dan terlepas dengan
ranah psikis. Seperti halnya konsultasi bisnis, konsultasi hukum, konsultasi
kecantikan, konsultasi keuangan. Atau konsultasi agama. Walaupun ada beberapa
yang tidak jelas pemakaiannya, contoh konsultasi perkawinan. Konsultasi
perkawinan sebenarnya dapat mewakili keduanya, tergantung ranah atau ruang mana
yang dominan. Orang yang bergerak dalam bidang akademik BKpun sebenarnya tidak
luput dalam kekeliruan dua kata ini. Hal itu terjadi pada Lembaga Bimbingan dan
Konseling (LBK) UPI Bandung. Dalam situsnya LBK UPI menampilkan kata konsultasi
pada salah satu bentuk layanannya. Tetapi ternyata ketika dibuka justru yang
keluar adalah kata konseling. Kenapa hal ini kita perdebatkan dalam
substansi. Jawabannya mengarah kepada etika keilmuan yang menodong kita untuk
memisahkan sebuah ilmu agar tidak tumpang tindih. Atau dalam konteks filsafat
ilmu, popular dengan sebutan ontology.
Dengan kaitannya dengan
ontology, Psikologi sebagai akar haruslah tercermin dalam BK. Baik secara
teoritis maupun praktis. Kesalahpahaman dalam menafsirkan BK yang telah lama
bergeming di paradigma masyarakat, harus juga diarahkan dalam wajah asli BK.
Disinilah peran anggota akademik yang lumrah bertanggung jawab, dengan memperjelas
wajah asli tersebut, via permainan peran di kampus maupun di masyarakat. Sekarang
kita akan coba mengarahkan tema saat ini mengenai substansi BK. Dalam menemukan
substansi BK, ada beberapa gagasan yang dapat kita tarik melalui definisi ahli
dengan melihatnya di beberapa buku pengantar. Donald G. Mortenson dan Alan
M.Schmuller dalam bukunya Guidance in Today’s Schools seperti dikutip Dewa
Ketut Sukardi, konseling dapat diartikan sebagai suatu proses hubungan dengan
seseorang, dimana seseorang dibantu oleh orang lainnya untuk meningkatkan
pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi masalahnya.
Definisi senada juga
dicetuskan oleh Pepinsky and Pepinsky yang mengatakan konseling adalah suatu
proses interaksi yang terjadi antara dua orang individu yang disebut konselor
dan klien, terjadi dalam situasi yang bersifat pribadi diciptakan dan dibina
sebagai suatu cara untuk memudahkan terjadinya perubahan-perubahan tingkah laku
klien, serhingga memperoleh keputusan yang memuaskan kebutuhannya.
Definisi yang lebih
komperhensif dan berkarakter ditawarkan oleh C.H Pattersson. Seperti yang
dicatat oleh Dewa Ketut Sukardi. Pattersson mengemukakan karakteristik yang
terkandung dalam batasan konseling sebagai berikut:
- Konseling
ialah berhubungan dengan usaha, untuk mempengaruhi perubahan sebagian
besar dari tingkah laku klien secara sukarela.
- Maksud dari
konseling ialah menyajikan kondisi yang dapat memperlancar dan mempermudah
perubahan sukarela itu.
- Klien atau
konseli mempunyai batas gerak sesuai dengan tujuan konseling secara khusus
ditetapkan bersama oleh konselor dan klien pada waktu permulaan proses
konseling itu.
- Konidisi yang
memperlancar perubahan tingkah laku itu diselenggarakan melalui wawancara.
- Suasana
mendengarkan terjadi dalam konseling, tetapi tidak semua proses konseling
itu terdiri dari mendengarkan itu saja.
- Konselor
memahami klien.
- Konseling
diselenggarakan dalam keadaan pribadi dan hasilnya dirahasiakan.
- Klien
mempunyai masalah-masalah psikologis dan konselor memiliki keterampilan
atau keahlian di dalam membantu memecahkan masalah-masalah psikologis yang
dihadapi klien.
Dari ketiga definisi diatas
tersirat konseling diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan dua individual,
antara konselor dan klien. Suasananyapun bersifat pribadi dan penekanannya pada
perubahan tingkah laku dalam menghadapi masalah. Sedangkan dalam konteks ikatan
emosinal yang dibentuk, dicoba digiring untuk memahami serta mengerti
permasalahan serta klien. Pengertian tadi juga mencerminkan nilai vital dari
jatidiri BK selama ini. Dampak dari hal tersebut akhirnya bergumul dengan
tujuan akhir membentuk paradigma BK saat ini. Karenanya arti-arti tersebut
memanglah belum lepas dari pandangan BK klasik yang dimana BK masih dinisbahkan
terhadap pertemuan dua individu dalam mencapai tujuan. Tiga buah definisi
tersebut juga tidak boleh sembarangan digeneralisir terhadap arti BK itu
sendiri. Rasanya itu yang muncul bila kita coba memunculkan definisi konseling
yang disusun oleh mereka yang ahli di bidang tersebut. Dalam bukunya Pengantar
Konseling: Teori dan Studi Kasus, John McLeod, mengutip definisi konseling yang
dikeluarkan oleh British Association of Counselling: Kata Konseling mencakup
bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat
pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau
pemecahan masalah. Tugas konseling adalah memberikan kesempatan terhadap klien
untuk mengeksplorasi, menemukan dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan
cerdas dalam menghadapi sesuatu.
Ada dua hal penting yang dapat
dipetik ialah bahwasanya konseling tidak mutlak dilakukan dengan setting dua
individu, serta konseling tidak melulu menghadapi sebuah permasalahan, karena
pengembangan diripun menjadi menarik untuk di intervensi. Definisi dari BAC ini
sejalan dengan wacana reformasi paradigma BK. Maka itu rumusan mengenai
substansi BK menjadi penting sebagai titik pijakan kegiatan BK kedepan. Dan
dengan melihat arti dari BAC tadi bukankah ada yang salah dengan substansi dan
paradigma Bimbingan dan Konseling saat ini?
(Sumber :
Misbahul Jannah (UNMUL Samarinda)
Assalamualaikum Wr.Wb
HIDUP MAHASISWA...
HIDUP BK...
HIDUP IMABKIN...
Sejenak Berbincang Substansi dan Paradigma Bimbingan
dan Konseling diIndonesia
Sebelumnya, saya menyampaikan
bahwa tulisan ini saya dapatkan dari web mengenai BK, tanpa ada yang dikurangi
atau dilebihkan, saya forward-kan tulisan ini agar kiranya teman-teman BK dan
para praktisi BK dapat menganalisis dan bisa kembali mendiskusikannya bersama
di forum ini atau di forum manapun. Jzkh…..
Cukup lama juga kita tidak
asing mendengar Bimbingan Konseling mewarnai perjalanan hidup
keilmuan yang ada. Sebagian orang telah dengan sengaja untuk terjun di bidang
ini. Bergelut, mangkaji, diskusi, memberikan konsep hingga berujung pada suatu
temuan ilmiah yakni teori. Hal ini seakan membawa nama BK menjadi harum dan
dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu proses ilmiah menangani problema
manusia. Berpuluh tahun kata konseling dijadikan wacana dari pertalian
antara dua orang yang saling berbincang untuk menemukan suatu solusi. Sejak
puluhan tahun BK telah menjelma menjadi keilmuan mandiri, yang dibuktikan
dengan munculnya jurusan-jurusan BK baik di barat, pun di Indonesia. Walaupun
pada akhirnya munculnya jurusan itu masih dimonopoli kampus-kampus pendidikan
atau kampus yang berorientasi pada wilayah keguruan.
Secara keilmuan, banyak
definisi-definisi yang dipelajari di kampus mencoba memberikan pemahaman bagi
mahasiswa mengenai makna konseling, mulai dari mengarahkan, membimbing,
pendekatan psikologis atau sekedar curahan hati. Dalam konteks yang cukup
serius, -seperti yang ditekankan dalam literatur konseling- konseling menemukan
jatidirinya dalam asumsi kapada cengkraman etis profesional, komersial dan
persepsi-persepsi yang menisbahkan konseling kepada unsur profesi. Hal itu
didasarkan kepada buku-buku pengantar Bimbingan dan Konseling dalam tafsirkn BK
dengan penjustifikasian wacana-wacana itu tadi. Banyak kalangan pada
akhirnya, terilhami setting pikiran seperti itu tadi yakni interpretasi BK
kepada wilayah yang lebih terlihat personal. Ekses dari hal tersebut seakan
menjadikan konseling sebagai salah satu kegiatan yang bernuansa soft atau
lembut.
Mengapa akhirnya penulis
mempunyai pandangan tersebut? Pertanyaan ini berawal ketika penuls menjalani
keseharian menjadi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan di salah satu perguruan
tinggi negeri di Jakarta. Hal itu dilanjutkan kepada beberapa
literatur-literatur konseling yang ada, serta untaian-untaian dosen yang
menceritrakan mengenai teknis konseling. Seperti Prof Zakiyah Dradjat yang
mencoba menjelaskan tentang metode Non Direktif dengan referensi pengalaman
beliau selama menjadi konselor.
Seiring zamanpun banyak
beberapa pendekatan konseling yang hadir untuk memberi warna baru dan
berorientasi pada pemecahan masalah. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya metode
RET, Trait dan Factor, analisis transaksional, Klinikal, dan banyak lagi.
Ada beberapa hal yang mesti
didiskusikan mengenai karakter BK saat ini. Cara yang baik ialah dengan
melakukan reinterpretasi mengenai makna BK. Setidaknya ada sekitar 5 masalah
yang menjadi “biang keladi” dalam merias wajah BK dewasa ini. Gugatan secara
etis layak untuk dimunculkan mengingat sekarang kita sedang bicara mengenai
pengembangan BK.
- Menangani/Mengobati
Konseling
tidak tepat rasanya jika hanya dilakukan untuk mengahadapi masalah. Banayak
pihak menilai Konselor bekerja menangani masalah yang ada, dan berkesudahan
ketika masalah itu terselesaikan juga ataupun ketika klien tidak lagi
mendatangi konselor. Berangkat dari perdebatan antara wilayah kerja BK dan
Psikoterapi. Tidak jarang pakar merangkum distingsi (perbedaan) kedua hal
tersebut. Seperti dirangkum oleh Latipun mengenai perbedaan keduanya,
disebutkan bahwa BK menangani masalah yang situasional sedangkan Psikoterapi
menangani emosional yang berat neurosis. Namun titik tekannya bukan hanya pada
kualitas kasus, tetapi pada periodeisasi masalah. Ada baiknya BK tidak hanya
disibukkan pada bentuk layanan mengobati masalah, tetapi ada bentuk yang
dilupakan sebagai ciri khas kesempurnaan serta kemapanan BK yaitu mencegah dan
membangun.
- Lisan
Dalam
era globalisasi ini dimana segala hal serba baru dan kreatif, banyak ilmu
dipacu untuk mengepakkan sayapnya dalam menangani krirsis manusia modern. Tak
terkecuali BK yang patut menyeburkan diri dalam pusaran ini. Dunia
jurnalisme sebagai dunia tulis menulis dapat dijadikan partner untuk mengemas
BK melalui tulisan yang termuat dalam media massa. Internet? Rasanya diandalkan
dalam mewujudkan visi ini, seperti yang dilakoni e-psikologi dengan konseling
via emailnya. Atau lebih menariknya guru BK dapat membuat semacam rubrik BK
dengan kemasan menarik untuk memikat siswanya. Hal ini dirasa perlu karena
tidak setiap orang dapat mendatangi konselor, selain itupun banyak individu
yang canggung berbicara kepada konselor.
- Institusi
Pendidikan
Permalahan
ini cukup urgen, bahwa BK ialah ada di Sekolah, secara tak langsung.
Memepersempit ruang kerja BK. Ini tidak lepas dari “monopoli” jurusan BK yang
diletakkan di kampus keguruan dan pendidikan. Dan khususnya di Indonesia
fenomena ini pun belum dirasa berkembang secara signifikan untuk membentuk BK
non pendidikan. Disudut realita, sebenarnya tidak semua kampus memojokkan
BK ke wilayah ekslusifitas pendidikan, toh ada beberapa keguruan yang mencoba
untuk lepas dalam pergulatan pemikiran dengan tujuan akhir pendidikan. membuka
studi konseling karir, lintas budaya atau sosial kemasyarakatan. namun hidupnya
jurusan itu di kampus-kampus dengan latar keguruan, akhirnya sulit membenamkan
rasa apriori pada 2 wilayah yaitu keilmuan dan ruang kerja.
- Individu
Individu
pun tidak kalah pentingnya dalam menciptakan sebuah nilai atau paradigma.
Seperti yang disebut diatas tadi, tentang stigma BK sebagai jurusan yang soft
memang tidak bisa dielakkan, ketika BK masih berfokus pada penanganan individu.
Penulis melihat stigma individu nyang ditanamkan kepada BKI, berkenaan dari
berbagai teori yang ada. Secara historis wajar jika teori itu berorientasi
kepada individu, mengingat teori BK belum lepas dari penciptanya yang berasal
dari psikologi atau psikiatri. Sebutlah Carl Rogers, Ivan Pavlov, BF Skinner,
Alfred Adler dan sebagainya. BK sebagai event monopoli individu, tentu tidak
etis diletakkan pada asumsi yang salah. Akan Tetapi berangkat dari corak suatu
budaya dan masyarakat yang juga bangga dengan jati diri massa, perlu
dipertimbangkan. Banyak individu yang merasa nyaman dengan pendekatan BK secara
massa. Analogi mudahnya seperti pertandingan sepakbola. Ada orang yang nyaman
menonton sendiri, namun banyak juga yang lebih menikmati jalannya pertandingan
secara beramai-ramai, atau pula berangkat langsung ke stadion, melihat bintang pujaan.
Ini berarti BK pun dapat menarik, jika dikemas dalam bungkus massa, dengan
dampak positif para klien dapat terpacu adrenalinnya. Ada yang perlu yang
diingat bagi model intervensi secara massa. BK secara massa harus pula
dibingkai yang bersifat dinamis, progresif dan mengikuti pola-pola yang kreatif
sesuai tuntutan zaman.
- Inisiatif
Klien
Perguruan
tinggi mempunyai 3 karakter yang dipelihara secara luhur yang populis disebut
tridharma. Pengajaran, penelitian serta pengabdian masyarakat. Secara etis tiga
hal itu mesti dipraktikan juga dengan kreatif dan penuh dinamisasi. Konselor
sebagai pengabdi masyarakat mesti berperan aktif dalam menciptakan suatu
tatanan masyarakat madani. Konsekuensi logis dari hal ini adalah aktivasi BK
digalakkan dalam suatu setting kemasyarakatan. Tidak sepantasnya konselor hanya
menuggu inisiatif klien datang, dan berorientasi komersial. Hal ini sebagai
tantangan LSM BK yang mempunyai target-target pembinaan masyarakat.
Membuka
Tabir substansi Bimbingan dan Konseling.
Perdebatan mengenai bimbingan
dan konseling memang jarang mengemuka, namun bukan menjadi suatu pedoman untuk
tidak kita meintensitaskannya. Hal ini berguna sebagai titik tolak untuk menuju
dinamika bimbingan dan konseling itu sendiri. Akhirnya wilayah ini memang harus
disosialisasikan. Selama ini diskusi yang dilakukan, lebih sering kepada bentuk
metode ataupun pengulasan suatu kasus. itu artinya perdebatan konseling selama
ini lebih diarahkan kepada bentuk konseling. Padahal selain itu ada satu hal
lagi yang jauh lebih penting atau dapat juga disebut kontroversial yaitu
substansi. Titik tekan inilah yang penulis akan tembak. Penulis melihat
wilayah ini cukup urgen untuk kita bedah dan urai dalam bentangan keilmuan
bimbingan dan konseling. Karena landasan dari wajah BK salah satunya dimainkan
oleh peran serta substansi. Ibarat sayuran substansi dapat menjadi sayuran itu
sendiri, atau dapat pula menjadi garam. Satu hal yang terus mengganjal
dalam batin yang berkaitan dengan substansi BK ialah tidak berkembangnya
-secara signifikan- ilmu bimbingan dan konseling baik di kampus maupun dalam
praktiknya. Sekian lama ilmu bimbingan dan konseling dikungkung dalam area
pendidikan untuk disalurkan ke sekolah-sekolah baik menengah maupun atas.
Fenomena ikatan perseptif
antara BK dan dunia pendidikan, akhirnya melahirkan sebuah permasalahan lain
yaitu paradigma. pendidikan yang lekat dalam nuansa BK, disadari atau tidak
akhirnya menggiring opini masyarakat tentang peran serta BK. Terlebih anggapan
yang mengansumsikan BK sebagai polisi sekolah, toh terus bergulir seperti bola
panas. Hal ini sebenarnya tidak jauh dari kegiatan BK itu sendiri yang belum
mengepakkan sayap secara lebar. Contoh yang dapat direnungkan adalah
kegiatan-kegiatan seperti hanya mengajar di kelas, menangani kasus perkelahian,
memberi nasehat kepada siswa yang membolos, memanggil anak yang berpacaran dan
lain-lain. Pada bentuk itu kita dapat sepakati bahwa itu wajar. Tetapi secara
paradigma tentu melenceng dari komitmen. Apalagi BK terseret pada arus yang
memaksanya untuk memakai topeng hitam-putih kasus. (Perlu dikritisi)!!! Karenanya
bersandar dari anggapan itu. Masyarakat juga keliru dalam meintepretasikan
peran BK. Tentunya akan ada konsekuensi logis dari itu semua, mengingat
problema-problema yang dihadapi BK di sekolah belum ditanggulangi secara
massif. Beberapa point itu menjadi menarik untuk didiskusikan di sela-sela
perkuliahan atau sesama oknum BK, jika mau lebih dari itu, caranya dengan
masyarakat. Efektifitas diskusi adalah perlu dalam menjelaskan substansi BK.
Dengan syarat setiap pendiskusi haruslah berpikir kreatif, dinamis, ikhlas,
serta mempunyai keinginan kuat untuk merubah kondisi yang ada.
Reintepretasi:
Memperdebatkan kembali Apa itu substansi BK?
Sebenarnya wilayah substansi
BK cukup sulit diterjemahkan bagi penulis. Bagi penulis pribadi, hal ini
disebabkan karena beberapa hal. Pertama-tama mungkin selama ini penulis tidak
mendapatkan partner yang tepat untuk menjawab telisikan ini. Banyak oknum yang
masih canggung-atau bahkan memang belum tersadar- untuk berwacana sekedar
menemukan substansi BK. Ada hal lain yang justru menarik, ide substansi BK yang
ingin digulirkan oleh beberapa partner sharing, ternyata terlalu jauh untuk
dikatakan sebagai substansi yang ilmiah, sebab menjadi melenceng dari etika BK
itu sendiri.
Faktor yang kedua ialah
sedikitnya buku-buku atau tulisan-tulisan ilmiah yang mencoba menawarkan konsep
substansi secara jelas. Fenomena yang banyak terjadi justru berkembang pada
wilayah filosofi suatu metode atau pendekatan konseling. Untunglah
situasi diatas hanya menjadi kerikil-kerikil yang membuat penulis bersemangat,
untuk mencoba bergelut pada ide ini. Selain itupun, pengalaman dan kondisi yang
malah menjadi “teman” atau motivatior bagi keteguhan tekad menjawab keraguan
mengenai substansi BK.
Ada dua hal menjadi
pertimbangan dalam meracik substansi BK yang pas di era sekarang. Pertama,
Kritisisme dalam membangun argumentasi BK. Ini menjadi dasar untuk mendirikan
bangunan substansi BK. Lalu yang kedua adalah mengikat konteks BK yang
mempunyai pohon psikologi untuk menjadi pegangan.
Pertama membangun Kritisisme.
Sebagai mahasiswa yang hidup di jurusan dengan nafas BK. Terkadang kerap dicap
sebagai mahasiswa lembut atau soft, bahkan kalem, pendiam, gak neko-neko.
karena BK tidak sedialektika ilmu politik, ekonomi, fillsafat, sosiologi dll.
Jadi, yang mereka jadikan untuk mengkritik BK, lebih ditekankan pada keilmuan
BK yang lebih mengarah kepada wilayah personal.
Perlu dicatat tak ada ilmu
dimanapun juga, dapat berkembang dengan menyisihkan unsur kritisisme di
dalamnya. Karena bagian dari menifestasi ilmu itu ya kritis itu sendiri. Kita
ambil contoh yaitu filsafat. Sebagai ibu ilmu, filsafat banyak berkembang
menjadi ilmu-ilmu baru berkat semangat kritis para punggawanya. Di lingkup
psikologi pun mengambil cara kritis dalam kepakkan sayapnya. Psikoanalisis
klasik yang menjadi luar biasa di era pada waktu itu, lama-kelamaan menghilang
karena nafas para kritikusnya, seperti C.G Jung, yang ialah seorang Freudian
sebelumnya. Atau kritikus psikoanalisis lainnya seperti Alfred Adler, yang
endingnya menelurkan bentuk psikologi individu. Maka itu kita harus yakin
terhadap kritisisme sebagai salah satu tonggak melahirkan substansi BK.
Kritisisme pun harus dilakukan dengan visi yang konstruktif dan relevan agar
target tercapai.
Kedua, mengikat konteks BK
dengan pohon psikologi. Ada kisah menarik ketika salah seorang dosen dari
Bandung yang ditugaskan untuk mengakreditasi jurusan penulis. Ketika selesai
melakukan dialog dengan pihak fakultas, Sang dosenpun-yang juga assesor bagi
akreditasi jurusan penulis- melihat ruangan praktik BK yang bertempat di Lt.7.
ketika sampai, sang dosenpun kaget melihat ruangan BK bertuliskan “ruang
konsultasi”. Kadang terjadi ambiguitas masalah yang penting ini. Di satu sisi
secara makna tidak ada perbedaan. Tetapi pada realitanya seharusnya kedua hal
itu dipakai dalam konteks yang berbeda. Perlu diperhatikan dengan jelas.
Konseling tidak terfokus pada suatu ruang saja dan mempunyai sentuhan
psikologis, sedangkan konsultasi digunakan pada satu ruang dan terlepas dengan
ranah psikis. Seperti halnya konsultasi bisnis, konsultasi hukum, konsultasi
kecantikan, konsultasi keuangan. Atau konsultasi agama. Walaupun ada beberapa
yang tidak jelas pemakaiannya, contoh konsultasi perkawinan. Konsultasi
perkawinan sebenarnya dapat mewakili keduanya, tergantung ranah atau ruang mana
yang dominan. Orang yang bergerak dalam bidang akademik BKpun sebenarnya tidak
luput dalam kekeliruan dua kata ini. Hal itu terjadi pada Lembaga Bimbingan dan
Konseling (LBK) UPI Bandung. Dalam situsnya LBK UPI menampilkan kata konsultasi
pada salah satu bentuk layanannya. Tetapi ternyata ketika dibuka justru yang
keluar adalah kata konseling. Kenapa hal ini kita perdebatkan dalam
substansi. Jawabannya mengarah kepada etika keilmuan yang menodong kita untuk
memisahkan sebuah ilmu agar tidak tumpang tindih. Atau dalam konteks filsafat
ilmu, popular dengan sebutan ontology.
Dengan kaitannya dengan
ontology, Psikologi sebagai akar haruslah tercermin dalam BK. Baik secara
teoritis maupun praktis. Kesalahpahaman dalam menafsirkan BK yang telah lama
bergeming di paradigma masyarakat, harus juga diarahkan dalam wajah asli BK.
Disinilah peran anggota akademik yang lumrah bertanggung jawab, dengan memperjelas
wajah asli tersebut, via permainan peran di kampus maupun di masyarakat. Sekarang
kita akan coba mengarahkan tema saat ini mengenai substansi BK. Dalam menemukan
substansi BK, ada beberapa gagasan yang dapat kita tarik melalui definisi ahli
dengan melihatnya di beberapa buku pengantar. Donald G. Mortenson dan Alan
M.Schmuller dalam bukunya Guidance in Today’s Schools seperti dikutip Dewa
Ketut Sukardi, konseling dapat diartikan sebagai suatu proses hubungan dengan
seseorang, dimana seseorang dibantu oleh orang lainnya untuk meningkatkan
pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi masalahnya.
Definisi senada juga
dicetuskan oleh Pepinsky and Pepinsky yang mengatakan konseling adalah suatu
proses interaksi yang terjadi antara dua orang individu yang disebut konselor
dan klien, terjadi dalam situasi yang bersifat pribadi diciptakan dan dibina
sebagai suatu cara untuk memudahkan terjadinya perubahan-perubahan tingkah laku
klien, serhingga memperoleh keputusan yang memuaskan kebutuhannya.
Definisi yang lebih
komperhensif dan berkarakter ditawarkan oleh C.H Pattersson. Seperti yang
dicatat oleh Dewa Ketut Sukardi. Pattersson mengemukakan karakteristik yang
terkandung dalam batasan konseling sebagai berikut:
- Konseling
ialah berhubungan dengan usaha, untuk mempengaruhi perubahan sebagian
besar dari tingkah laku klien secara sukarela.
- Maksud dari
konseling ialah menyajikan kondisi yang dapat memperlancar dan mempermudah
perubahan sukarela itu.
- Klien atau
konseli mempunyai batas gerak sesuai dengan tujuan konseling secara khusus
ditetapkan bersama oleh konselor dan klien pada waktu permulaan proses
konseling itu.
- Konidisi yang
memperlancar perubahan tingkah laku itu diselenggarakan melalui wawancara.
- Suasana
mendengarkan terjadi dalam konseling, tetapi tidak semua proses konseling
itu terdiri dari mendengarkan itu saja.
- Konselor
memahami klien.
- Konseling
diselenggarakan dalam keadaan pribadi dan hasilnya dirahasiakan.
- Klien
mempunyai masalah-masalah psikologis dan konselor memiliki keterampilan
atau keahlian di dalam membantu memecahkan masalah-masalah psikologis yang
dihadapi klien.
Dari ketiga definisi diatas
tersirat konseling diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan dua individual,
antara konselor dan klien. Suasananyapun bersifat pribadi dan penekanannya pada
perubahan tingkah laku dalam menghadapi masalah. Sedangkan dalam konteks ikatan
emosinal yang dibentuk, dicoba digiring untuk memahami serta mengerti
permasalahan serta klien. Pengertian tadi juga mencerminkan nilai vital dari
jatidiri BK selama ini. Dampak dari hal tersebut akhirnya bergumul dengan
tujuan akhir membentuk paradigma BK saat ini. Karenanya arti-arti tersebut
memanglah belum lepas dari pandangan BK klasik yang dimana BK masih dinisbahkan
terhadap pertemuan dua individu dalam mencapai tujuan. Tiga buah definisi
tersebut juga tidak boleh sembarangan digeneralisir terhadap arti BK itu
sendiri. Rasanya itu yang muncul bila kita coba memunculkan definisi konseling
yang disusun oleh mereka yang ahli di bidang tersebut. Dalam bukunya Pengantar
Konseling: Teori dan Studi Kasus, John McLeod, mengutip definisi konseling yang
dikeluarkan oleh British Association of Counselling: Kata Konseling mencakup
bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat
pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau
pemecahan masalah. Tugas konseling adalah memberikan kesempatan terhadap klien
untuk mengeksplorasi, menemukan dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan
cerdas dalam menghadapi sesuatu.
Ada dua hal penting yang dapat
dipetik ialah bahwasanya konseling tidak mutlak dilakukan dengan setting dua
individu, serta konseling tidak melulu menghadapi sebuah permasalahan, karena
pengembangan diripun menjadi menarik untuk di intervensi. Definisi dari BAC ini
sejalan dengan wacana reformasi paradigma BK. Maka itu rumusan mengenai
substansi BK menjadi penting sebagai titik pijakan kegiatan BK kedepan. Dan
dengan melihat arti dari BAC tadi bukankah ada yang salah dengan substansi dan
paradigma Bimbingan dan Konseling saat ini?
(Sumber :
Misbahul Jannah (UNMUL Samarinda)