Kamis, 25 Desember 2014

Kurikulum Oplosan

Penghujung akhir tahun 2014, kata“oplosan” kembali menjadi topiyang semarak lagi meriah di pemberitaan media cetak, elektronik ataupun dimedia sosial.Pada mesin pencari google misalnya, ketika diketik kata“oplosan”, maka akan diantar pada beberapa situs yang mengabarkan banyaknya peristiwa tragis mematikan karena minuman keras oplosan. Yang terkini adalah peristiwa Garut Jawa Barat dimana “oplosan” kembali menyentak dan berjaya bukan hanya memabukkan tapi juga mematikan yang patut diperhitungkan dalam kancah per-miras-an. Sayangnya, lagu oplosan yang dinyanyikan Soimah YKS bukannya dianggap peringatan malah sebagai musik pengantar dan penghangat suasana.
Ketika penulis mengetik kata oplosan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online di  http://kbbi.web.id/,  didapatkan penjelasan singkat bahwa “oplosan”, berasal dari kata oplos atau mengoplos yang berarti mencampur obat dan sebagainya. Oplosan adalah hasil mengoplos, campuran ataupun larutan. Jika dihubungkan dengan minuman keras, berarti minuman beralkohol tinggi hasil mengoplos, mencampur atau melarutkan dengan beberapa zat-zat lain yang tidak sesuai dengan takaran Standar Nasional Indonesia.
Fenomena oplosan dan kurikulum pendidikan?
Dagelan carut marutnya pendidikan di Indonesia sudah sangat baik dipertontonkan. Anti klimaksnya adalah terbunuhnya virus utama yang diperankan oleh kurikulum 2013. Dagelan ini telah berhasil mengantar keamanan dan kenyamanan para penonton bahwa sangvirus utama nan mematikan telah dibasmi, dikarantina dan dijamin tidak akan menjalar ke mana-mana lagi. Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tertanggal 5 Desember 2014 sudah sngat jelas bahwa atas nama kepentingan anak-anak Indonesia, maka kepada semua kepala sekolah untuk mempersiapkan sekolah kembali menggunakan kurikulum 2006 mulai semester genap tahun pelajaran 2014/2015.
Nah, sampai saatnya Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan model kurikulum yang ideal, apakah lantas kurikulum 2006 akan kembali “terbunuh” sebagaimana epik 2013? Ataukah tetap mempertahankan kurikulum 2006 dengan perbaikan-perbaikan? Ataukah akan telahir kurikulum “oplosan” antara kurikulum 2006 dengan 2013 sebagai kompromi atas pertentangan konseptual dan kepentingan yang semakin tajam meningkat?
Tulisan ini tidak bermaksud memaparkan secara detail pertentangan-pertentangan konseptual yang dilahirkan oleh kurikulum 2013. Hanya ingin mengabarkan pesan bahwa segala bentuk pertentangan-pertentangan yang lahir sudah begitu menyakitkan karena telah mempertontonkan ketelanjangan bangsa ini mengelola pendidikannya. Bangsa ini kelihatan kehilangan arah kiblatnya, sehingga model pendidikannya menjadi semrawut, tidak terorganisir dan berkesinambungan. Lihatlah tayangan media di televisi yang begitu “cabul” mengekspose pendapat para guru, kepala sekolah dan praktisi pendidikan lainnya berdebat tentang praktek mendidik yang paling benar. Ada guru yang sudah sangat respek dan tampak menikmati praktek kurikulum 2013, dan ditayangan lain sebaliknya, menganggap bahwa praktek kurikulum 2013 begitu sulit, rumit dan bertele-tele. Tayangan ini semakin liar ketika para siswa, orang tua, masyarakat, guru kecil, guru besar serta anggota DPR berkomentar tentang hal ini.
Pertentangan secara konseptual semakin membabibuta. Saling menyalahkan dengan berlomba-lomba menulis kelebihan dan kelemahan masing-masing. Akhirnya terbentuk kubu kurikulum baik vs kurikulum buruk, ahli baik vs ahli buruk, guru baik vs guru buruk ataupun menteri baik vs menteri buruk. Pembelajaran tematik berubah menjadi pembelajaran skematik, penilaian otentik menjadi penilaian direktif. Sekolah kemudian berubah menjadi pasar, kata Kartono (2009).
Nampaknya ide kurikulum “oplosan” bukanlah ide yang terlalu buruk untuk menengahi pertentangan-pertentangan ini. Alasan pertama, paling tidak mencegah sementara waktu untuk tidak saling membunuh, menyelamatkan kepentingan dan harga diri masing-masing. Kedua, mengikuti perkembangan salah satu kebudayaan kita yakni budaya mengoplos, budaya poros tengah, budaya kompromi. Budaya kompromi ini selain sebagai produk sejarah, dia juga lahir dari kondisi sosial yang sudah menjadi struktur baru yang oleh Pierre Bourdieu disebutnya sebagai habitus. Mungkin kedua alasan inilah sehingga kurikulum “oplosan” layak menjadi pilihan. Pembelajaran tematik ataupun penilaian otentik sebagai konsep utama kurikulum 2013 tetap dijalankan karena kurikulum 2006 juga secara jelas mengakomodir itu, kata pak Menteri Pendidikan. Akhirnya kurikulum oplosan ini akan duduk manis bersanding dengan “miras oplosan”, “BBM oplosan”, “daging oplosan” dan jenis oplosan-oplosan lainnya.
Menakar Efek Oplosan
Iwan, Joni, Max, Dedy, Sampara, Aso dan yang lainnya telah meregang nyawa, nyawanya tidak tertolong lagi. Belum lagi ratusan orang lainnya masih terbaring lemah menunggu kesembuhan. Kalaupun sembuh harus tersandera dengan efek jangka panjang. Kebutaan, gagal ginjal nyata adanya. Semua bersumber dari miras “oplosan”. Bagaimana dengan kurikulum “oplosan”??  
Sebagai struktur yang menstrukturisasi, kurikulum kita dari tahun ke tahun telah memalsu dinamika sosial sehingga peserta didik salah mempersepsi, mengapresiasi dan mengelola dunia sosial di sekitar mereka. Sigmund Freud menyebutnya kebocoran ego, di mana melumernya pengalaman bawah sadar tanpa bisa diproteksi lagi oleh alam sadar. Pola asuh dan pola didik yang kurang sehat kata, Freud.
Namanya juga oplosan, tentu saja tidak memiliki standar nasional. Kurikulum oplosan adalah pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang tujuan, isi, bahan pelajarana serta medianya hasil oplosan, racikan, ramuan berbagai sumber yang kadang tidak dikenali. ...Tutupen botolmu tutupen oplosanmuemanen nyawamu ojo mbok terus teruskemergane ora ono gunane,bernyanyi Soimah dalam “Oplosan”. Lagu ini mungkin patut menjadi nasehat bersama.
Sampai tulisan ini dimuat, pak menteri dan pak mantan menteri belum juga satu suara, padahal Asrul Sani dalam Surat-Surat Kepercayaan sudah mengingatkan bahwa kasihan generasi muda saat ini yang terus kehilangan tokoh yang mampu mengimajinasi, menginspirasi dan membimbingnya menjadi manusia yang lebih dewasa.

Sumber : http://usmandjabbar.blogspot.com/2014/12/kurikulum-oplosan.html
Comments
0 Comments

0 komentar: