Minggu, 28 Desember 2014

Pendidikan Identitas Karakter Bangsa


Keunikan dan Kelangkaan lebih diburu dan diincar daripada menjadi orang seperti Kebanyakan orang. Mana yang mahal, yang langka atau yang lazim. Jadilah diri sendiri. Orang lain bukanlah standar Anda. Standarnya ada pada diri Anda sendiri. Percayalah Anda punya potensi yang tidak sehebat yang orang lain miliki. Cari itu. Itu adalah kunci memenangkan persaingan global. 

Mana yang akan kita pilih, memenuhi kebutuhan atau keinginan? Yang mana yang Anda butuhkan, sekolah atau pendidikan? Pendidikan mana yang Anda butuhkan, pendidikan yang dibutuhkan Anda atau pendidikan yang diinginkan pemerintah? Sudahkah pemerintah merancang pendidikan sesuai kebutuhan peserta didik? Coba Anda sebutkan siapa saja orang yang menjadi SUKSES hanya karena meniru persis bagaimana menjadi orang yang ia idolakannya? Mana yang lebih sukses, Followernya atau Trendsetternya? Tentu Trendsetternya.

Makanya saya tidak akan terpesona kalau dibandingin sama orang lain. Setiap orang punya potensi, kelebihan, kekurangan, peluang, hambatan, latar belakang, sikon Fisik/Psikis, cita-cita, harapan, kebutuhan, dukungan, dan faktor sukses lainnya. Bayangkan kalau di dunia ini hanya ada satu warna? apa yang bisa kita lihat? BLIND!!!

Bila telah terjadi pemerataan pendidikan, baik dari segi tenaga, fasilitas, dan kehidupan untuk penunjang pendidikan itu sendiri boleh lah sibuk dengan standar yg menasional itu. Namun kalau belum, standar pendidikan yang selalu dihebohkan setiap tahunnya itu bukanlah solusi yg cerdas untuk mencerdaskan bangsa. Pendidikan zaman sekarang cuma berstandar NILAI. Pendidikan Dasar (Ujuan Nasional) bukan hanya sekedar Matematika dan Bahasa. Kira-kira apakah standar pendidikan yang sebenarnya?

Sudahkah pendidikan kita mengakomodir peserta didik agar mengetahui siapa diri mereka sebenarnya? Sudahkah pendidikan kita mengakomodir peserta didik agar mengetahui apa kelebihan,kekurangan, peluang dan hambatan mereka? Mau dijadikan apa mereka? Mau dijadikan layaknya bangsa lain? atau dijadikan Bangsa Indonesia yang punya potensi yang tidak dimiliki oleh bangsa lain? Kita Butuh Kurikulum Berbasis Kebutuhan Peserta Didik. Padahal Peserta didik adalah tunas harapan bangsa.

Perumpamaan: Hewan Mana yang yang akan menjadi paling hebat berenang, dan hidup di air selamanya dalam sebuah manajemen sirkus ketika diajari kepada sejumlah hewan sebagai peserta didiknya yang disebutkan sebagai berikut: Burung, Kucing, Monyet, Semut, Kambing, Katak, Lalat, Ular, Ayam, Ikan, Singa, Harimau, Lumba-lumba, Duyung, dan Beruang.

Saya yakin Anda tahu apa jawabannya. Kira-kira pendidikan sekarang menyamakan standar pendidikan ke semua peserta didik. Apakah pendidikan seperti itu adalah pendidikan yang efektif?

Pendidikan mestinya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan peserta didik semenjak dini. Bahkan kita bisa bimbing mau jadi apa sejak dini dengan teorinya Parson. Tentunya pemahaman dan pengembangannya juga kudu komprehensif oleh tenaga ahli seprti konselor atau psikolog.

Bangsa Indonesia memiliki keragaman yang kompleks. Persatuan Bangsa Indonesia akan terus abadi ketika mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini tentunya tidak diajarkan untuk menyepakati satu budaya dan menghapus budaya-budaya yang ada di Indonesia. Begitu pula dalam hal pendidikan, Ini berarti bahwa dalam pendidikan juga harus menghargai perbedaan Individu. Apakah dengan menyamakan standar pendidikan merupakan solusi untuk mengembangkan kecerdasan bangsa? Biarkanlah pendidikan itu menjadikan seseorang yang sesuai dengan agamanya dari usia muda. Tak perlu sekolah umum, kecuali terintegrasi dengan suasana dan pendidikan sesuai agama secara kental. Bukan Pendidikan Sekuler seperti saat ini. Kalau tidak, mengapa ada madrash, tsanawiyah, sekolah kristen dan sebagainya. Seharusnya Sekolah Umum memiliki pelajaran yang sama dengan sekolah agama lainnya. Bukankah agama itu adalah pedoman hidup? Apakah pedoman hidup itu hanya untuk segelintir orang? Sekolah umum seakan mengajarkan kita bahwa sains terpisah dengan agama. Seakan negara kita terpisah dengan agama. Negara kita adalah negara agamis/religius. Kenapa? Karena landasan ideal negara kita adalah Pancasila. Dan Sila dengan urutan pertama dan sebagai prioritas utama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Jelaslah, negara kita ini bukanlah negara yang sekuler, bukan sosialis dan bukan kapitalis. Sayangnya pelaksanaannya masih sekuler.

Saya pikir ke-Bhinneka Tunggal Ika-an itu bukan hanya sarat dengan keanekaragamaan kebudayaan tetapi juga agama. Kebebasan beragama pun perlu diperhatikan. Tentunya setelah mengikuti pendidikan. Setiap orang berhak mencari kebenaran, termasuk tentang agama. Saya pikir apapun dilakukan sebagai ibadah yang diyakini dan dipercaya menurut agama itu adalah normatif secara konstitusi yakni pada pasal 29 UUD 1945. Agama adalah pendidikan yang sebenarnya. Karena hakikatnya pendidikan adalah memanusiakan manusia atau memantapkan harkat dan martabat manusia. Tentunya pedoman untuk itu sudah ada pada agama masing-masing. Walaupun tidak semua agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Ini mesti dimaklumi karena adanya kebebasan beragama di negara kita. Seharusnya ini adalah fundamental terdasar dalam acuan pendidikan. Sehingga dengan begitu, saya yakin peradaban bangsa ini akan lebih maju sebaga bangsa Indonesia. Bukan sebagai Bangsa yang dikendalikan oleh sistem bangsa lain yang tentunya merugikan bangsa kita sendiri. Mestinya kita membangun sistem atau standar atau kurikulum pendidikan kiat sesuai kebutuhan bangsa kita. Saat ini Kita lebih mementingkan pendidikan berdasarkan kepentingan pasar atau kebutuhan bangsa lain dengan dalih globalisasi. 

Maka dari itu, sistem pendidikan kita mestinya di manajemen dengan sebaik-baiknya oleh pakarnya. Keterlibatan pakar-pakar pendidikan mestinya dijadikan acuan utama dalam pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan  pendidikan. Bahkan kalau perlu seharusnya kebijakan tidak akan disahkan apabila tidak mendapat dukungan atau rekomendasi pakar-pakar pendidikan. Kebijakan memang butuh proses yang tersistematis, teruji ilmiah dan tepat. Karena ini menyangkut nasib masa depan ummat/orang banyak. Pendidikan adalah salah satu penentu masa depan bangsa.

Nah, kalau begitu, tentunya tenaga pendidikan tidak akan cukup hanya ada guru dan dosen. Maka dari itu, pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan, pengembangan kemampuan, dan kenyamanan pelaksanaan kinerja konselor, fasiltator, instruktur, widyaswara, dan tenaga pendidik lainnya dalam bertugas di negara yang kita cintai ini. Pemerintah belum serius dalam hal pendidikan yang sebenarnya. Contohnya dalam hal konseling. Konseling dapat membentuk kepribadian/tingkah laku manusiayang tidak salah suai. Jangankan di luar pendidikan. Konseling di sekolah masihdiremehkan di sejumlah daerah di indonesia. Mengapa? Karena :
Banyak tamatan S1 NON Bimbingan & Konseling yang mengisi Posisi Guru BK. Mesti sebenarnya lebih tepat disebut Konselor Sekolah. Karena Guru dan Konselor merupakan Profesi yang berbeda.; Guru BK yang tamatan S1 Non BK sebagian hanya dibekali kursus atau diklat terbatas saja bahkan ada tanpa pembekalan apapun. Ini akan menyebabkan "MAL PRAKTEK KONSELING". Kalau seperti ini siapa yang akan bertanggung jawab? Apa advokasi dari pemerintah sendiri dalam bentuk Undang-Undang?; Kesejahteraan Konselor Sekolah hendaknya lebih diperhatikan. Karena Tugas Guru BK sebenarnya lebih banyak dan komplikasi daripada guru mata pelajaran. Untuk pemahaman terhadap diri seorang siswa saja, dapat mengungkap berbagai masalah dan potensi yang dimilikinya. Sementara Fungsi BK ada pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan/pengembangan dan advokasi. Dapat dilakukan dengan 10 layanan dan 6 Kegiatan Pendukung. Dengan cakupan 4 bidang, yakni pribadi, belajar, sosial dan karir. Apalagi yang ditangani Guru BK adalah minimal untuk 150 orang siswa dalam aturan yang ada. Lebih besar tanggung jawab Guru BK dibanding Guru Mata Pelajaran dan Wali Kelas Sekalipun. Bahkan terakhir terdengar kabar bahwa Akan ditambah jumlah minimal untuk tanggungan siswa. Bukankah Pendidikan itu juga membentuk kepribadian atau karakter peserta didik? Bukankah pendidikan bukan hanya mengembangkan aspek kognitif saja? Hal ini dapat ditugaskan kepada Guru BK secara Ideal dan Keilmuannya. Kalau seperti itu apakah LAYAK GAJI GURU BK yang diberikan saat ini? Sehingga sebenarnya guru BK/Konselor sekolah memiliki hak penentu dalam menentukan kelulusan atau naik tingkatnya peserta didik dilihat dari tugas/peranan guru BK dan tujuan pendidikan nasional; Ketersediaan jam KONSELING dalam Kurikulum 2013 pun ditiadakan. Sementara Format Konseling tidak hanya Format Perorangan/Individu tetapi juga Kelompok/Klasikal. Belum lagi sekolah yang masih banyak tidak memiliki Guru BK bahkan ada sekolah yang kurang memperhatikan konseling; Jumlah guru BK sekarang yang hanya 33.000 orang di jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK di seluruh Indonesia. Di Indonesia saja guru BK yang sudah sarjana dan berpendidikan profesi konselor baru 370 orang. Adapun, jumlah sekolah di Indonesia sebanyak 80.170 satuan pendidikan, dengan rincian 53.030 SMP/MTs dan 9.103 SMA/SMK/MA, sedangkan, jumlah siswa kedua jenjang itu mencapai 18.835.859 orang. Dari jumlah kebutuhan tersebut, terjadi kekurangan guru BK mencapai 92.572 orang. Kekurangan itu diketahui dari perhitungan berdasarkan rasio 1:150. Masalahnya apakah penerimaannya sesuai kebutuhan atau anggaran pemerintah?; Di lain itu, ada lebih dari 200 model pendekatan konseling. Kenyataannya di lapangan belum ada pengawasan ketat atau penelitian ilmiah tentang penguasaan model konseling yang digunakan konselor/guru BK dan pelaksanaan konseling secara global yang ada di tanah air. Sehingga dalam hal ini, belum ada keseriusan pemerintah untuk upgrade kemampuan tenaga pendidik tersebut.

Di luar itu semua, masyarakat juga memiliki andil dalam hal ini. Kualitas pendidikan non formal dan informal mesti dijaga. Karena keberhasilan pendidikan formal juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan masyarakat. Misalnya pendidikan pra nikah, pendidikan ibu hamil, pendidikan keluarga, pendidikan untuk penyakit masyarakat dan hal lainnya. Pendidikan ini dapat dilakukan melalui konseling. Pendidik untuk masyarakat ini mestinya menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.

Kurikulum mestinya terintegrasi dengan keterlibatan seluruh elemen masyarakat yang positif. Sehingga peserta merasakan bahwa pendidikan yang didapatkan memang nyata dibutuhkan ketika mereka menjalani kehidupan sehari-hari dalam berkehidupan agama berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat ditekankan melalui pengabdian atau penelitian terhadap masyarakat setiap mata pelajaran/kuliah.

Intinya, pendidikan karakter tidak cukup hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Namun banyak aspek karakter yang dikembangkan mesti jelas dan sesuai identitas peserta didik sebagai keunikan individu. Sehingga pendidikan berbasis kebutuhan.

Sumber : 
https://www.facebook.com/KONSELOR.RI

Abe Achmad Badaruddin di http://achmad-badaruddin.blogspot.com/2013/06/pendidikan-identitas-karakter-bangsa.html
Comments
0 Comments

0 komentar: