Minggu, 28 Desember 2014

POLEMIK PEMBERIAN HUKUMAN (PUNISHMENT) : SEBUAH PROBLEMATIKA PENDIDIKAN




PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, yang berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap dapat berkembang dalam pendidikan secara nyaman. Bagaimanapun pendidikan dapat mencetak generasi emas yang diharapkan menjadi tombak peradaban dan obor pencerahan bagi bangsa dan negaranya. Negara yang maju adalah negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Untuk mewujudkannya maka setiap warga negaranya perlu diberikan pendidikan yang memadai.
Menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Keberhasilan pendidikan, khususnya di sekolah tidak hanya ditentukan oleh kemahiran guru dalam mengajar. Namun lebih kepada bagaimana guru mendidik para siswanya. Guru yang baik adalah seseorang yang bisa mengajar sekaligus bisa mendidik para siswanya. Dengan kemampuannya untuk mengajar dan mendidik secara baik, akan dihasilkan anak-anak yang tidak hanya pandai secara intelektual, namun juga secara akhlak atau budi pekerti dan keimanan. Pada akhirnya akan menghasilkan generasi penerus yang arif dan bijaksana. Namun pada kenyataannya, banyak kasus yang mempersoalkan tentang tugas guru mendidik dan mengarahkan siswa.
Beberapa waktu yang lalu, kita masih teringat kasus seorang guru yang berhadapan dengan hukum akibat mencubit siswanya. Hakim menetapkan sang guru bersalah dan menjatuhkan vonis denda Rp 20 juta dengan subsider hukuman 1 bulan penjara. Lalu terdapat pula kasus penamparan oleh oknum guru terhadap siswi SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah. Orang tua melaporkan kasus itu ke polisi. Kasus yang hampir sama juga terjadi di SMK Gajah Mungkur 1, oknum guru dilaporkan karena dugaan penganiayaan salah satu muridnya. Murid tersebut mengaku ditampar satu kali oleh gurunya itu sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya. Alasan pemukulan itu, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera.
Kasus lain seperti yang dilansir Antara News, memberitakan seorang guru AG, guru SMPN di Kota Jambi, terdakwa kasus penamparan siswanya, MT yang tertangkap menonton film porno di telepon genggamnya saat jam pelajaran, oleh orangtua siswa, AG dilaporkan ke kantor polisi dan dituntut hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan. Dari beberapa contoh kasus hukum yang terjadi di ranah pendidikan Indonesia yang berhubungan dengan tingkah laku guru dalam menerapkan displin kepada siswa, kebanyakan diakhiri dengan penetapan guru sebagai tersangka yang bersalah dan dijatuhi hukuman penjara dan denda. Guru dianggap bersalah karena telah melakukan kekerasan terhadap anak.
Fenomena ini menjadi seperti gunung es yang kian hari kian mengkhawatirkan. Guru menjadi dilema dalam hal menetapkan hukuman yang akan diberikan kepada siswa yang melanggar. Guru tidak berani bertindak tegas kepada siswa. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tidak berani menegur, sehingga terjadi  pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Komisi perlindungan guru tidak bisa berbuat banyak untuk memberikan payung hukum kepada guru, padahal kebebasan guru memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar norma dan aturan sudah diatur dan tertera dalam UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 39 tentang Penilaian, Penghargaan dan Sanksi oleh Guru kepada Peserta Didik. Jadi tidak mungkin guru menghukum tanpa alasan dan sebab yang jelas, dan tidak mungkin guru menghukum siswa yang baik dan yang menaati aturan. Perlu adanya kejelasan persepsi tentang pemberian hukuman (punishment) dalam pendidikan yang diberikan oleh guru kepada siswa dengan tindakan kekerasan yang dijadikan landasan para orang tua untuk menjerat guru, sehingga tidak memberatkan kedua belah pihak, baik itu guru dan pihak sekolah dengan siswa dan orang tua. Oleh karena itu penulis berminat menulis makalah dengan judul  “Polemik Hukuman (Punishment) Siswa”. Pada makalah ini penulis hanya meninjau dari segi landasan hukum.

B.               Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
a.         Apa dasar hukum pemberian hukuman (punishment) dalam pendidikan?
b.         Bagaimana perlindungan hukum untuk guru yang terkait kasus tindakan pemberian hukuman (punishment) kepada siswa?

C.                 Tujuan

                 Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menelusuri mengenai apa dasar hukum pemberian hukuman (punishment) dalam pendidikan dan bagaimana perlindungan hukum untuk guru terkait kasus tindakan pemberian hukuman (punishment) yang dikaitkan dengan UU Perlindungan Anak.

D.                Manfaat

                 Manfaat yang diharapkan dari makalah ini:

a.         Guru, sebagai rambu-rambu dalam memberikan hukuman (punishment) kepada siswa yang melanggar.
b.         Orang tua, sebagai saran tindakan yang sebaiknya dilakukan untuk pengaduan yang melibatkan guru dan anak sebagai siswa.
c.         Pemerintah, untuk lebih memperjelas persepsi hukuman (punishment) dengan tindak kekerasan, dan lebih memperhatikan perlindungan hukum bagi guru yang terkait kasus hukum.




PEMBAHASAN

A.      Dasar Hukum Pemberian Hukuman (Punishment) Dalam Pendidikan
                 Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, dijelaskan tentang kedudukan, tugas dan hak guru. Pasal 1 mendefinisikan guru sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Kegiatan mendidik lebih condong kepada proses bagaimana mengarahkan dan menyadarkan peserta didik agar dapat mengubah dirinya menjadi manusia seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual, moral dan sosial. Jadi anak didik tahu bagaimana menggunakan ilmu untuk berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki norma dan tatanan. Siswa harus tahu fungsi dan perannya terhadap orang tua, guru, keluarga, dan lingkungan masyarakat.      
                 Proses penyadaran tersebut tidak bisa dilakukan melalui pengajaran saja, tetapi lewat pendidikan di mana prinsip keteladanan dari sang guru diberlakukan. Tanpa sebuah keteladanan (melalui kata maupun tindakan) yang baik, seorang siswa yang nakal akan tetap menjadi nakal, bahkan mungkin akan semakin nakal. Keteladanan kata yang dimaksud disini bisa berupa teguran secara lisan yang ditujukan kepada siswa yang melakukan pelanggaran. Sedangkan keteladanan tindakan bisa diartikan guru memberikan sanksi atau hukuman yang bertujuan untuk mendidik agar siswa tersebut mendapat efek jera dan berusaha untuk tidak melakukannya lagi. Efek jera yang diberikan guru kepada siswa, tidak lain untuk mendisplinkan siswa tersebut.
                 Dalam PP No. 74 Tahun 2008 pasal 39 ayat 1 dijelaskan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi (hukuman) kepada siswa yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Pemberian sanksi (hukuman) bisa berupa teguran, peringatan dan/atau hukuman (punishment) lain yang bersifat mendidik dimana bertujuan seperti yang dijelaskan sebelumnya yaitu untuk memberikan penyadaran dan efek jera kepada siswa. Dengan kata lain, hukuman (punishment) yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar, tidak serta merta termasuk dalam tindakan kekerasan, karena hukuman (punishment) yang diberikan guru bisa bermacam-macam jenis, selain itu, perlu dipahami bahwa hukuman (punishment) yang diberikan memiliki tujuan lain yang tersembunyi yaitu untuk mendidik tingkah laku siswa agar menjadi manusia yang memiliki akhlak dan budi pekerti baik.
Dalam perkembangan pendidikan dewasa ini, sering kali dijumpai kasus yang melibatkan guru dengan siswa ataupun walisiswa terkait dengan tindakan hukuman (punishment) yang diberikan kepada siswa yang melanggar aturan. Terkadang hukuman (punishment) tersebut sering disalahartikan berbeda oleh orang tua siswa sebagai tindakan penganiayaan terhadap anak. dengan mengusung undang-undang perlindungan anak (UUPA) No. 23 Tahun 2002 Pasal 16, ayat (1) dimana berbunyi:
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Sebagai contoh yang terjadi di kota Jambi, seorang guru SMPN berinisial AG dinyatakan bersalah dan dituntut hukuman penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan, karena menampar siswanya yang tertangkap menonton film porno di telepon genggamnya pada saat jam pelajaran. Tindakan penamparan yang dilakukan AG, menurut UUPA dikategorikan sebagai penganiayaan, penyiksaan dan perbuatan yang tidak manusiawi. Kalau kita perhatikan baik-baik, hukuman (punishment) berupa penamparan yangdilakukan guru terhadap muridnya semata-mata dalam rangka mendidik akhlak siswa tersebut. Siswa tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan norma moral. Apakah arif orangtua melaporkan guru yang dengan ikhlas ingin memperbaiki moral anaknya malah dilaporkan ke polisi? Apakah pantas orang tua mendapati anaknya menonton video mesum malah memberikan dukungan kepada anaknya?.
Apa yang dilakukan guru AG tersebut tidaklah 100% salah, karena dalam PP No. 74 Tahun 2008 pasal 39 ayat 1, guru berhak dan diberikan kebebasan dalam rangka memberikan sanksi kepada siswa yang telah melanggar norma dan aturan yang berlaku. Hal ini berarti, guru mempunyai wewenang dalam mendisiplinkan siswa yang melanggar. Guru mempunyai tugas untuk memperbaiki akhlak atau pribadi siswa yang dianggap telah melanggar norma dan aturan yang ada. Disini tugas guru sebagai pendidik lebih ditekankan. Namun tugas tersebut terganjal dengan adanya UUPA yang ditetapkan oleh KPAI. Guru menjadi cemas dan takut, jika hukuman (punishment) yang akan diberikan kepada siswa yang melanggar justru akan membawa mereka ke dalam kasus hukum yang bisa memenjarakan mereka. Kecemasan yang ada dalam diri guru dirasakan sangat wajar dan beralasan. Kata-kata ‘penjara’ saja sudah sangat menakutkan, apalagi ditambah dengan pembayaran uang denda yang nilainya sekitar puluhan juta rupiah, belum lagi sanksi kode etik yang akan diberikan oleh pihak sekolah atau lembaga organisasi tempat guru tersebut bernaung, yang lebih parahnya pemberhentian tugasnya sebagai guru. Begitu berlapis-lapisnya akibat yang ditanggung dari kasus tersebut. Posisi ini yang menambah beban berat bagi guru. Sehingga kebanyakan guru tinggal diam, tidak memberikan hukuman (punishment), akibatnya terjadi proses pembiaran.
Sebenarnya guru tidak perlu takut ataupun cemas dalam memberikan hukuman (punishment) kepada siswa, karena pemberian hukuman (punishment) kepada siswa yang melanggar diatur dalam peraturan pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 ayat 1. Namun, guru juga perlu mengetahui ada batasan-batasan yang perlu diperhatikan guru ketika akan memberikan hukuman (punishment) kepada siswa. Sebagaiman yang tertera pada PP No. 74 Tahun 2008 pasal 39 ayat 2, dimana menyatakan bahwa sanksi (hukuman) yang diberikan kepada siswa bisa berupa teguran dan/atau peringatan, baik dalam lisan ataupun tulisan, atau bisa berupa hukuman lain yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan. Jadi, bebas disini bukan berarti guru bisa seenaknya saja memberikan hukuman (punishment), tapi harus mengikuti aturan yang ada, tidak melanggar kode etik sebagai guru, dan yang terpenting sesuai dengan kaedah pendidikan kita sekarang, dimana pendidikan kita sekarang lebih berfokus pada pembentukan karakter.
Seorang guru perlu mengetahui, memahami dan mencari bentuk hukuman (punishment) seperti apa yang cocok diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuat siswa, hukuman (punishment) yang menekankan pada penyadaran dan efek jera yang tidak memberikan traumatis dan tidak mengganggu perkembangan psikologis siswa. Dengan memahami pengetahuan tersebut, mengurangi resiko guru yang terlibat kasus hukum sehingga guru dapat menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik dengan leluasa tanpa perlu dirasuki kecemasan dan ketakutan.

B.      Definisi Hukuman (Punishment) dalam pendidikan
Menurut Ngalim Purwanto, punishment adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik (guru) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 1955:186). Hukuman juga dapat diartikan pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Pemberian hukuman akan membuat seseorang menjadi kapok dan tidak akan mengulangi yang serupa lagi. Menurut Echols dalam Rasimin, punishment merupakan siksaan atas perilaku yang telah diperbuat. Secara harfiah, hukuman dapat diartikan sebagai pemberian sesuatu yang tidak menyenangkan, karena seseorang tidak melakukan apa yang diharapkan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia menjelaskan ada tiga macam bentuk hukuman:

1. Siksa yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang.
2. Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.
3. Hasil atau akibat menghukum.

Guru yang baik adalah mereka yang mampu menguasai kelas hingga terciptanya suasana pembelajaran yang menyenangkan. Dalam mewujudkannya, guru haruslah menjadi orang yang berwibawa, kharismatik, menguasai materi pelajaran dan mampu memahami psikologis anak. Ia harus disiplin, tak membuat kesalahan, mengetahui dan mampu menjawab atas setiap masalah yang dialami anak didik. Peran guru sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun kegiatan-kegiatan yang menunjang prestasi. Proses pembelajaran akan berjalan baik bila ditopang dengan beberapa hal, termasuk di dalamnya tata tertib siswa di sekolah sebagai tatanan, etika, dan norma yang harus dijunjung tinggi untuk mensukseskan tujuan pembelajaran diantaranya adalah penerapan punishment.
Dalam proses pembelajaran, punishment harus menjadi reinforcement (penguatan) bagi anak agar tidak mengulangi kembali atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dorongan negatif akan memberikan efek yang baik untuk tidak mengulang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat anak. Pemberian hukuman akan membuat anak menjadi kapok (jera), artinya sebuah upaya pendidik (guru) dalam memberikan sanksi agar anak tidak akan melakukan kesalahan yang serupa lagi. Sekalipun setelah diberi ulasan agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sebagian anak masih saja ada yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Pemberian punishment mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebagai reinforcement (penguatan) demi tercapainya kemandirian belajar, membangkitkan perasaan dan tanggung jawab anak. Dalam membangkitkan motivasi anak tidaklah mudah, guru perlu mengetahui secara mendalam tentang kondisi psikologis anak dan memiliki kreativitas untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kebutuhan dan minat anak (Nasution, 2000:78). Adapun kriteria pemberian hukuman yang diberikan pendidik (guru) dengan tujuan sebagai berikut:
a.         Untuk menciptakan kedisiplinan anak didik agar anak didik belajar dengan baik;
b.         Untuk melindungi anak didik dari perbuatan yang tidak wajar;
c.         Untuk menakuti si pelanggar, agar meninggalkan perbuatannya yang melanggar itu. (Ahmadi, 2001:151).
                 Dalam proses pembelajaran, hukuman merupakan salah satu metode untuk mencapai tujuan pendidikan sehingga pemberian hukuman harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yaitu untuk membangkitkan kesadaran yang timbul dari dalam diri anak terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya, sehingga berusaha bertobat dan menyadari tentang kesalahan yang telah diperbuatnya.



C.      Bentuk-Bentuk Punishment
                 Bentuk punishment yang masih relevan bagi anak, sesuai dengan tingkat perkembangannya, antara lain :
a.       Pandangan Sinis, Peringatan dan Ancaman
                 Konsistensi pemberian punishment bentuk ini akan memunculkan kesadaran dalam diri anak. Anak tidak akan menganggap punishment sebagai bentuk pendektean yang mempersempit otonomi dan pribadinya. Anak pada masa ini akan merombak dan bersikap berontak terhadap semua yang dirasa mengurangi dan mempersempit kebebasannya. Pemberian hukuman dalam bentuk ini harus diimbangi dengan penjelasan atau rasionalitas si pemberi hukuman (guru) serta perlu adanya tindak lanjut (follow up)sebagai wujud perhatian pendidik (guru) pada anak. Penjelasan alasan pemberian punishment yang logis dan pendekatan secara persuasif dengan anak dapat memberikan penguatan dan motivasi agar tidak terjadi kesalahan yang berulang. Dengan begitu, secara perlahan mereka akan menyadari kesalahan-kesalahan yang diperbuat dan berusaha menuju perbaikan.
b.       Pemberian Alfa
                 Pada masa ini, anak sudah mampu menghargai kejujuran, kedisiplinan, keadilan, sehingga untuk periodesasi ini pemberian sanksi alfa mampu meresap dan dihayati dalam jiwa anak. Sanksi ―alfa‖ berhubungan dengan penerimaan diri anak oleh masyarakat lingkungan sosialnya, akan kebutuhan harga diri anak, sekalipun masih ada beberapa anak yang tetap keras dan hanya mempan dengan hukuman fisik. Pemberian sanksi ini lebih menekankan pada pemahaman secara rasional tanpa melibatkan fisik, yaitu seorang anak harus mampu menilai sejauh mana pentingnya kehadiran suatu materi pelajaran bagi pencapaian prestasi dan kebutuhan hidupnya di masa mendatang.
c.       Membersihkan Kelas
                 Membersihkan kelas merupakan pemberikan punishment yang mendidik bagi anak untuk belajar tentang mahalnya sebuah kesehatan. Hal ini juga sesuai dengan nilai-nilai Islami, yaitu kebersihan adalah sebagian iman.
                 Dalam pemberian hukuman, pendidik (guru) harus mampu menghindari sejauh mungkin hal-hal yang akan berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis anak. Beberapa jenis hukuman yang harus diketahui oleh pendidik (guru) adalah sebagai berikut:
1)      Hukuman membalas dendam: orang yang merasa tidak senang karena anak berbuat salah, anak lalu dihukum.
2)      Hukuman badan/jasmani: hukuman ini memberi akibat yang merugikan anak, karena bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi anak.
3)      Hukuman jeruk manis (sinaas appel): menurut tokoh yang mengemukakan teori hukuman ini, Jan Ligthart, anak yang nakal tidak perlu dihukum, tetapi didekati dan diambil hatinya.
4)      Hukuman alam: dikemukakan oleh J.J. Rousseau dari aliran Naturalisme, berpendapat, kalau ada anak yang nakal, jangan dihukum, biarlah kapok/jera dengan sendirinya (Ahmadi, 2001:157).
                 Setiap sekolah memiliki peraturan yang harus ditaati bersama, baik kepala sekolah, staf administrasi, pendidik (guru) maupun anak didik, dan semua yang terlibat dalam proses pembelajaran (lingkungan sekolah). Aturan tersebut dapat berupa tata tertib sekolah, misalnya aturan tentang keharusan masuk kelas tepat waktu, mematikan HP waktu di kelas, kedisiplinan dalam mengerjakan tugas individu maupun kelompok.
Bentuk hukuman diberikan kepada anak sesuai dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya.Hukuman atau punishment dipakai sebagai upaya peningkatan kedisiplinan diri, memotivasi belajar dan perbaikan perilaku. Pemberian punishment tidak sebatas pada menjatuhkan hukuman pada anak karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran, melainkan juga untuk peningkatan kedisiplinan anak, memotivasi belajar dan perbaikan perilaku (moralitas). Jadi, maksud metode punishment dalam pembelajaran sebenarnya sebagai bentuk penguatan negatif yang diberikan kepada anak untuk perbaikan dan penghindaran perilaku menyimpang secara sosial atau peningkatan kedisiplinan serta sebagai stimulus pembangkit semangat motivasi belajar. Dalam praktiknya, pemberian punishmentsetidaknya memperhatikan dua hal berikut:
a.         Berkaitan dengan pelanggaran atas tindakan yang menyimpang dari norma sosial atau perbaikan tingkah laku dari tindakan amoral yang dilakukan di masyarakat sebagai proses interaksi antara anak dengan lingkungan masyarakat, maka punishment diberikan secara langsung oleh pendidik (guru), BK dan pihak sekolah.
b.         Berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) merupakan wilayah jaringan paedagogis pendidik (guru), yang didalamnya ia bertindak mendidik atau mengajar anak. Dalam pencapaian tujuan untuk membentuk anak yang berakhlakul karimah dan diimbangi dengan kualitas intelektual yang mumpuni, maka semua pendidik (guru) dalam menggunakan metode ini dalam rangka mengarahkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik serta peningkatan kedisilpinan anak serta sebagai motivator yang menjadikan anak belajar, karena pada intinya setiap pendidik (guru) adalah BK bagi setiap anak didik.

Pemberian punishment sering diinterpretasikan secara berbeda bagi anak. Punishment yang ada lebih menggugah minat diri untuk tetap disiplin dan sebagai bentuk imbalan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama atau bertindak yang tidak disetujui secara sosial, dan juga bisa sebagai salah satu bentuk motivasi untuk belajar. Sebagai upaya menjembatani adanya persepsi yang berbeda terhadap punishment, baik antara pendidik (guru) versus pendidik (guru), pendidik (guru) versus anak didik, dan anak didik versus anak didik, maka ada beberapa hal yang dijadikan pijakan sebagai prinsip dalam pemberian punishment, antara lain:
a.       Punishment harus disesuaikan dengan permasalahan dan kondisi anak.
b.      Besar kecilnya pelanggaran serta perbedaan individual mempengaruhi bentuk punishment yang diberikan anak.
c.       Hukuman yang diberikan bersifat konsisten. Hal ini dimaksudkan agar anak mengetahui bahwa kapan saja peraturan itu dilanggar, hukuman itu tidak dapat dihindarkan.
d.      Hukuman harus diimbangi dengan penjelasan dari sang pemberi hukuman.

Anak memiliki persepsi yang berbeda terhadap pendidik (guru) serta penerimaan yang berbeda pula, sehingga sering dijumpai pendidik (guru) dengan metode pembelajaran yang sama, akan mendapat respon yang berbeda dari anak yang sama pula. Pendidik (guru) dalam memberikan punishment harus menjelaskan kesalahan anak agar bisa diterima dan berhasil dalam tugas edukatifnya. Demikian halnya dalam pemberian hukuman, kewibawaan dan keseriusan pendidik (guru) ikut berperan dalam menentukan efektivitas hukuman yang diberikan. Dalam hal ini, bentuk hukuman yang diberikan harus bersifat impersonal, sehingga anak tidak menginterpretasikan sebagai ―kejahatan‖ si pemberi hukuman, serta ada tindak lanjut dari setiap pemberian hukuman dan follow up berkaitan dengan pemberian pengertian dan penjelasan tentang wujud hukuman serta alasan mengapa hukuman diberikan. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan diri anak didik dan menghilangkan rasa dendam dalam diri anak.

D.      Perlindungan Hukum Guru
Guru dalam menjalankan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik rentan dengan kasus hukum yang terjadi, baik itu yang terjadi di luar proses pembelajaran ataupun yang terjadi selama proses pembelajaran. Maraknya kasus pidana yang melibatkan guru dengan peserta didik, menambahkan terjepitnya posisi guru. Kasus-kasus pidana yang melibatkan guru dengan peserta didik selalu berujung pada divonisnya guru sebagai orang yang bersalah yang harus mendapatkan hukuman berupa kurungan dan denda. Kebanyakan kasus yang terjadi memvonis guru melakukan tindakan kekerasan terhadap siswa sebagai akibat dari pemberian hukuman (punishment) yang diberikan dalam rangka mendisiplinkan siswa.
Seringkali terlupakan adalah alasan hukuman (punishment) yang dilakukan guru. Belum tentu tindakan guru murni kesalahan yang dilakukan oleh guru. Dunia pendidikan mengenal adanya pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment), sebagai salah satu alat pendidikan Pemberian hukuman (punishment) kepada siswa yang melanggar bertujuan untuk mendidik siswa tersebut. Hukuman yang diberikan bisa dalam bentuk teguran lisan ataupun tertulis, bisa juga dalam bentuk hukuman lain yang bersifat mendidik, memberikan efek jera untuk tidak mengulanginya. Tujuannya adalah agar siswa tahu akan norma dan aturan yang berlaku,
Penerapan disiplin siswa, terganjal dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara spontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, tidak manusiawi yang melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Hukuman (punishment) yang diberikan guru kepada siswa, oleh orang tua diartikan sama dengan tindakan kekerasan, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi. Hal ini yang menyebabkan eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah. Perlu adanya kejelasan persepsi tentang tindak kekerasan dengan hukuman (punishment). Kejadian ini juga menadakan lemahnya payung hukum yang melindungi guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik.
Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam, melalui UU No. 14 tahun 2005 pasal 39 dan PP No. 74 tahun 2008 pasal 40 guru memiliki hak perlindungan dari rasa aman dan jaminan keselamatan melalui perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan hukum yang dimaksud yaitu perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain. Jadi, secara hukum guru bisa menggunakan haknya jika sewaktu-waktu guru berada dalam posisi yang terkait dengan masalah hukum. Namun kode etik guru tetap dijunjung tinggi. Jika ternyata memang guru melakukan pelanggaran, berlaku semena-mena terhadap siswa meskipun dengan alasan mendidik, seyogyanya guru harus menerima sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan..
Perlindungan hukum bagi guru bisa didapatkan dari organisasi profesi dimana guru tersebut bernaung, dalam hal ini Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI telah mengusahakan perlindungan bagi guru, beberapa diantaranya adalah dengan dibentuknya Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). DKGI merupakan badan kehormatan yang bisa memberikan sanksi kepada guru yang terbukti melakukan pelanggaran dalam kegiatan kependidikan. Ketika guru terkait dengan kasus hukum, dewan kehormatan yang akan memprosesnya, sebelum sampai ke penegak hukum. Sesuai dengan kode etik guru Indonesia disebutkan semua pelanggaran guru yang berhubungan dengan profesi guru baik di dalam kelas, lingkungan sekolah, yang masih ada hubungan dengan guru dan murid maka harus dilaporkan kepada DKGI. Sebab segala hal yang menyangkut profesi guru tidak serta merta bisa dibawa ke ranah hukum.  
Selain itu, PGRI juga melakukan MoU dengan pihak kepolisian, dalam hal ini Polri. Inti dari MoU tersebut adalah dalam menjalankan profesi guru jangan ragu menyalahi hak asasi manusia, karena selama itu dalam konteks menjalankan profesi maka tidak serta merta bisa diseret ke ranah hukum, seperti yang dilansir dalam media cetak. Guru tidak usah takut dengan pelanggaran HAM dalam menjalankan profesinya, kalau terjadi sesuatu tidak serta merta berhadapan dengan hukum tapi harus dilaporkan kepada DKGI. Sehingga dapat disatukan persepsi mana yang ditangani dewan kehormatan dan mana yang harus ditangani sampai ke penegak hukum. Kesemuanya dilakukan dalam rangka untuk melindungi guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik serta memberikan rasa aman dan nyaman dalam setiap melaksanakan tugas guna mencapai tujuan pendidikan.
                  

PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pemberian hukuman (punishment) yang diberikan guru terhadap siswa yang melanggar diatur dalam PP No. 74 tahun 2008 pasal 39, guru diberikan kebebasan dalam hal memberikan hukuman (punishment) kepada siswa. Bebas disni bukan berarti guru bisa seenaknya saja memberikan hukuman (punishment), tapi harus disertai dengan penjelasan sebagai bentuk penguatan kepada siswa, tidak melukai yang menyebabkan cacat fisik, bersifat mendidik, mengikuti aturan yang ada, tidak melanggar kode etik sebagai guru, dan yang terpenting sesuai dengan kaedah pendidikan kita sekarang, dimana pendidikan kita sekarang lebih berfokus pada pembentukan karakter. Guru sebagai pengajar sekaligus pendidik perlu mengetahui hukuman (punishment) mana yang cocok diberikan kepada siswa yang melanggar, sesuai dengan tingkat perkembangannya, tingkat kesalahan yang diperbuat, sehingga menimbulkan penyadaran dan efek jera bagi siswa yang melanggar.
Maraknya guru yang divonis penjara akibat tersangkut kasus pemberian hukuman (punishment) kepada siswa yang melanggar, menambah tersudutnya posisi guru di mata masyarakat. Pemerintah melakukan upaya semaksimal mungkin untuk memberikan perlindungan bagi guru dengan menetapkan UU No. 14 tahun 2005 pasal 39 dan PP No. 74 tahun 2008 pasal 40. Upaya ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum, perlindungan profesi dan perlindungan keselamatan dan kesehatan guru, sehingga guru merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Selain itu, perlindungan bagi guru bisa juga didapat  dari organisasi profesi yaitu PGRI. Guru yang terkait kasus hukum tidak serta-merta langsung diproses oleh penegak hukum. Semua pelanggaran guru yang berhubungan dengan profesi guru baik di dalam kelas, lingkungan sekolah, yang masih ada hubungan dengan guru dan murid dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Sehingga dapat disatukan persepsi mana yang ditangani dewan kehormatan dan mana yang harus ditangani sampai ke penegak hukum.

B.      Saran
Guru yang memiliki fungsi sebagai pendidik, perlu mengetahui, memahami dan memilih bentuk hukuman (punishment) mana yang sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuat, yang menimbulkan penyadaran, efek jera dan tidak memberikan dampak psikologis bagi perkembangan anak. Hal ini sebagai rambu-rambu bagi guru dalam memberikan hukuman (punishment) kepada siswa yang melakukan pelanggaran.
Orang tua siswa, terkait dengan kasus yang melibatkan anaknya dengan guru, perlu mencermati duduk permasalahan yang terjadi. Orang tua diharapkan tidak gegabah dalam mengambil keputusan dengan membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Ada lembaga yang mengawasi setiap pelanggaran yang berhubungan dengan kode etik guru, yaitu Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Orang tua dapat melaporkan terlebih dahulu kasus tersebut ke DKGI untuk diproses lebih lanjut.
 Pemerintah perlu mengkaji ulang persepsi hukuman (punishment) dengan tindak kekerasan, penganiayaan, penyiksaan ataupun tindakan tidak manusiawi yang disuarakan oleh KPAI. Persepsi pengertian hukuman (punishment) adalah sebagai bentuk mendidik, penyadaran siswa yang bertujuan untuk tidak mengulangi perbuatan yang melanggar norma dan aturan, bukan bertujuan untuk menganiaya, menyiksa ataupun melakukan kekerasan yang sifatnya untuk balas dendam atau yang lain. Kesalahan persepsi ini lebih banyak berdampak kepada guru. Guru terkesan melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya, sehingga keamanan dan kenyamanan guru terganggu. Perlindungan terhadap guru perlu diperhatikan, dikarenakan guru merupakan salah satu tokoh yang berjasa dalam memajukan bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1997. Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta.
IKAPI. 2009. Undang-Undang Guru dan Dosen. Bandung: Fokusmedia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 2002. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Nasution. 2000. Didaktik Asas-Asas Mengajar, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Purwanto, Ngalim.1997. Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Rasimin. Konstekstualisasi Metode Reward dan Punishment. Salatiga:
Susanto, Andrian. 2012. UU Perlindungan Anak: Derita Guru.


Sumber : Admelia adlu di http://admelia.blogspot.com/2013/12/polemik-pemberian-hukuman-punishment.html

TAG : Polemik Pemberian Hukuman (PUNISHMENT) 
Comments
0 Comments

0 komentar: