Rabu, 07 Januari 2015

SOLUSI PROBLEMATIKA KONSELOR BERTINDAK SEBAGAI POLISI SEKOLAH

Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 konselor adalah pendidik. Profesi konselor sejajar dengan guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur sebagai pendidik profesional. Masing-masing kualifikasi pendidik, termasuk konselor, memiliki ekspektasi kinerja yang unik. Ekspektasi kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan ahli bimbingan dan konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik, menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli, dengan selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan (Permendiknas No. 27 tahun 2008).
Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 dan Pemendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut menunjukkan bahwa bimbingan konseling adalah salah satu komponen yang penting dalam mendorong tercapainya tujuan pendidikan. Dalam modul pelatihan implementasi kurikulum 2013 untuk guru BK/Konselor, dijelaskan bahwa kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dalam rangka implementasi kurikulum 2013 yang mengamanatkan adanya peminatan peserta didik pada kelompok mata pelajaran, lintas mata pelajaran, dan pendalaman mata pelajaran maka diperlukan adanya pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilakukan oleh guru Bimbingan dan Konseling atau konselor. Implementasi kurikulum 2013 tentu membutuhkan usaha dan kinerja yang lebih dari konselor.
Berdasarkan pemaparan di atas, pada kurikulum 2013 profesi bimbingan dan konseling menjadi profesi yang semakin memiliki peran di dunia pendidikan. Profesi bimbingan dan konseling telah diberi kesempatan untuk menjadi profesi yang bermartabat dan diakui oleh masyarakat. Hal ini tentu menjadi sebuah tantangan pada konselor itu sendiri untuk bisa menjawab tantangan tersebut dengan kinerja yang maksimal. Akan tetapi, berbagai macam problematika muncul seiring dengan berkembangnya profesi konselor di Indonesia.
Problematika bimbingan dan konseling muncul di Indonesia karena berbagai macam faktor. Beberapa problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor pribadi konselor adalah (1) konselor berperan sebagai polisi sekolah; (2) konselor tidak menunjukkan disiplin; (3) konselor memaksakan nilai-nilai yang dimilikinya kepada konseli; (4) konselor membeberkan rahasia konseli; dan (5) konselor kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya. Selanjutnya problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor manajemen bimbingan dan konseling di sekolah adalah (1) adanya persepsi konselor bahwa bimbingan konseling mampu bekerja sendiri; (2) tidak adanya manajemen bimbingan konseling yang baik di sekolah; dan (3) tidak melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling. Selain itu, problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor sarana dan prasarana bimbingan konseling adalah (1) ruang bimbingan dan konseling yang kurang memadai; dan (2) keengganan konselor bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadai. Terakhir, problematika bimbingan dan konseling berdasarkan faktor keterampilan konselor dalam melaksanakan layanan konseling adalah (1) konselor hanya memberikan nasehat dalam proses konseling; (2) konselor kurang memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai; (3) konselor hanya menangani anak bermasalah; dan (4) kurangnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan konseling. Berbagai macam problematika bimbingan dan konseling tersebut dapat menghambat peran layanan bimbingan dan konseling dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan yang telah dicanangkan.
Perumusan solusi problematika bimbingan dan konseling akan difokuskan pada problematika konselor yang bertindak sebagai polisi sekolah. Konselor dituntut untuk menjadi pribadi yang hangat ketika berinteraksi dengan siswa. Hal tersebut akan mendorong rasa nyaman dan percaya siswa pada konselor. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah timbulnya kinerja konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Pada sub bab selanjutnya akan dijelaskan solusi-solusi terhadap problematika bimbingan dan konseling. Solusi pertama akan dijelaskan solusi secara umum dari berbagai macam problematika yang muncul. Kemudian, akan dijelaskan juga solusi dari fokus masalah yang diangkat. Adapun fokus masalah yang diangkat yaitu konselor bertindak sebagai polisi sekolah.

Solusi Umum
Problematika bimbingan dan konseling terbagi menjadi empat kategori. Kategori pertama adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor pribadi konselor. Kategori kedua adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor manajemen bimbingan dan konseling di sekolah. Kategori ketiga adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor sarana dan prasarana bimbingan konseling. Dan kategori keempat adalah problematika bimbingan dan konseling karena faktor keterampilan konselor dalam melaksanakan layanan konseling. Berikut ini akan disajikan berbagai macam problematika bimbingan dan konseling serta bagaimana solusi untuk menangani problematika tersebut secara umum.
  • Konselor tidak menunjukkan disiplin
Konselor sebagai tenaga pendidik profesional sudah selayaknya menjadi contoh yang baik untuk siswa dalam menunjukkan sikap disiplin. Akan tetapi, sikap disiplin belum sepenuhnya bisa ditunjukkan oleh konselor. Salah satu konselor di SMA kota Surabaya kurang menunjukkan sikap disiplin, seperti datang tidak tepat waktu dan terlambat masuk kelas.
Solusi yang bisa ditawarkan untuk menangani konselor yang kurang menunjukkan disiplin adalah konselor menerapkan self-management. Konselor membuat jadwal kegiatan dan daftar kegiatan sendiri yang harus ditaati. Solusi ini akan membantu konselor berlatih untuk menunjukkan disiplin. Permendiknas Nomor 27 tahun 2008 pada kompetensi kepribadian menjelaskan bahwa konselor harus menampilkan kinerja berkualitas tinggi yang bersemangat, berdisiplin, dan mandiri. Penyataan tersebut mengindikasikan bahwa sudah selayaknya bagi konselor untuk tampil sebagai pribadi yang disiplin di sekolah. Dalam dunia pendidikan ada istilah ing ngarso sung tulodho yang memiliki arti yang di depan memberi contoh. Pernyataan tersebut memberi arti bahwa konselor sebagai pendidik profesional sudah selayaknya memberi contoh yang baik kepada peserta didik berkaitan dengan disiplin. Menurut teori pembelajaran observasional yang dikembangkan oleh Bandura, konselor memberi contoh yang baik kepada siswa dalam menunjukkan sikap disiplin karena konselor sebagai pendidik adalah model yang ditiru oleh siswa (Burger, 2011; Boeree, 2007; Feist & Feist, 2006).
  • Konselor memaksakan nilai-nilai yang dimilikinya kepada konseli
Perbedaan budaya antara satu daerah dengan daerah lain dan antara satu etnis dengan etnis lainnya dalam menyelenggarakan berbagai tradisi, tentunya mempengaruhi perilaku individu dan dapat menjadi sumber permasalahan individu. Di samping itu, tata pergaulan individu dalam lingkup keluarga, tetangga, sekolah dan masyarakat, memuat budaya tertentu. Menghadapi bebagai situasi tersebut adakalanya seseorang memerlukan bantuan orang lain (konselor). Konselor sebagai individu memiliki budaya dan konseli sebagai individu juga memilki budaya. Permasalahan dapat terjadi dalam interaksi antara konselor dan konseli yang berbeda budaya dan atau ada sumber masalah konseli berkaitan dengan budaya. Berdasarkan pengalaman penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA kota Surabaya, konselor terkesan memaksanakan nilai-nilai yang dimiliki konselor untuk ditanamkan pada konseli. Hal ini akan berdampak pada terdistorsinya hubungan antara konselor dan konseli. Padahal hubungan konseling yang kuat dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pencapaian tujuan konseling.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor memaksanakan nilai-nilai yang dimilikinya kepada konseli dalam pelaksanaan layanan bimbingan konseling adalah adanya sosialisasi dalam bentuk in-service trainingyang berkaitan dengan peningkatan kesadaran multibudaya konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling. In-service training bisa dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Univesitas, dan organisasi profesi yaitu ABKIN. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran multibudaya konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling.
Sebagai seorang konselor profesional, harus mampu mengalihkan perhatian mereka untuk melakukan konseling dengan memasukkan isu-isu lintas budaya (Wolfgang, 2011). Terlebih lagi Indonesia memiliki budaya yang sangat beragam (Goodwin & Giles, 2003). Sehubungan dengan hal tersebut, tuntutan terhadap pentingnya konseling keberagaman budaya (multikultural) di Indonesia sejalan dengan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara jelas mengakomodasikan nilai-nilai pancasila, nilai-nilai agama, kebudayaan, hak asasi manusia dan semangat multikultural. Sue & Sue (2008) menyatakan terdapat tiga kompetensi lintas budaya yang harus dimiliki konselor, yaitu: a) konselor menyadari asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan bias-bias yang dimiliki individu; b) memahami pandangan dunia dari keberagaman budaya konseli; dan c) mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang sesuai.
  • Konselor membeberkan rahasia konseli
Berdasarkan pengalaman penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA di kota Surabaya, ditemukan fenomena-fenomena yang terjadi terkait kerahasiaan permasalahan konseli yang seharusnya dijaga oleh konselor. Fenomena-fenomena tersebut antara lain konselor membicarakan permasalahan konseli dengan guru-guru yang lain, konselor dengan mudah menceritakan kepada wali kelas dari konseli yang bersangkutan terkait permasalahannya, dan tidak jarang masalah yang dialami oleh konseli menjadi bahan tertawaan konselor dan guru-guru yang lain.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor yang membeberkan rahasia konseli adalah adanya optimalisasi tentang penerapan sanksi pelanggaran kode etik yang dikeluarkan oleh ABKIN. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik profesi bimbingan dan konseling maka kepada konselor diberikan sanksi sebagai berikut: (a) teguran secara lisan dan tertulis; (2) peringatan keras secara tertulis; (3) pencabutan keanggotaan ABKIN; (4) pencabutan lisensi izin praktik mandiri; dan (5) apabila terkait dengan permasalahan hukum/kriminal maka permasalhan tersebut diserahkan pada pihak yang berwenang.
  • Konselor kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat profesional konselor dalam pelayanan konseling. Juntika 1993 (dalam Akhmadi, 2012) menemukan bahwa pelaksanaan konseling oleh guru pembimbing belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni masih kurangnya kemampuan pembimbing dalam menangani dan menggali masalah yang dihadapi siswa. Marjohan 1994 (dalam Akhmadi, 2012) menemukan bahwa baru 39,47% guru pembimbing yang dapat menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori “tinggi”, sedangkan 60,53% baru mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori “sedang”. Dengan adanya hasil penelitian yang disebutkan di atas, seorang konselor sudah selayaknya terus mengembangkan profesionalitas dirinya secara berkelanjutan, akan tetapi, tidak semua konselor punya kesadaran akan hal itu. Masih banyak konselor yang tidak punya kesadaran untuk mengembangkan profesionalitasnya secara berkelanjutan, seperti tidak munculnya kesadaran bahwa mengikuti seminar dan lokakarya adalah penting, konselor cenderung enggan mengikuti seminar dan lokakarya karena kurang terfasilitasi oleh sekolah, konselor kurang termotivasi mengikuti kegiatan-kegiatan MGBK, dan konselor tidak termotivasi untuk membaca buku-buku yang bisa menunjang berkembangnya pengetahuan konselor.
Solusiyang ditawarkan untuk menangani problematika konselor yang kurang termotivasi mengembangkan profesionalitasnya adalah adanya evaluasi personil secara berkelajutan. Evaluasi personil dilakukan baik dari sekolah, kementerian pendidikan, dan organisasi profesi yaitu ABKIN tentang perkembangan profesionalitas konselor. Hal ini diharapkan dapat memacu perkembangan profesionalitas konselor dalam melaksanakan layanan konseling. Hal ini sesuai dengan amanat Permendiknas nomor 7 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor yang menyatakan bahwa konselor harus mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
Evaluasi Personil adalah prosedur yang digunakan untuk menilai efektivitas konselor sekolah yang bekerja dalam kerangka program bimbingan dan konseling komprehensif. Pertimbangan yang dibuat tentang efektivitas konselor sekolah menggunakan standar, kriteria, dan deskriptor kinerja personil yang berasal langsung dari kerangka bahasa program bimbingan dan konselingkomprehensif (Gysbers & Henderson, 2006). Standar kinerja personel digunakan sebagai upaya untuk membandingkan penilaian terhadap ruang lingkup pekerjaan konselor berdasarkan program komprehensif. Setelah standar kinerja personil ditetapkan, dimana sepenuhnya mewakili program komprehensif, kriteria dan deskriptor yang ditulis untuk setiap standar menentukan seberapa penting aspek-aspek standar tersebut. Kriteria dan deskriptor yang cukup dibutuhkan untuk menjamin penilai (evaluator) bahwa masing-masing aspek standar kinerja personel dapat diidentifikasi dan dievaluasi.
  • Adanya persepsi konselor bahwa bimbingan konseling bekerja sendiri
Fakta dilapangan menunjukkan tidak semua konselor bisa bekerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam upaya penanganan masalah konseli. Konselor seringkali bekerja sendiri, tanpa memperhatikan pihak-pihak lain yang terkait dalam upaya menangani masalah konseli. Hal ini tentunya akan berdampak pada beratnya tugas konselor, terhambatnya tujuan konseling yang akan dicapai, serta kurang maksimalnya bantuan konselor dalam penyelesaian masalah yang dialami konseli. Fenomena-fenomena tersebut tampak pada konselor di salah satu SMA di kota Ngawi.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika adanya persepsi konselor bahwa bimbingan konseling mampu bekerja sendiri adalah adanya sosialisasi dalam bentuk in-service training yang berkaitan dengan penjelasan bahwa konselor perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling. In-service training bisa dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Univesitas, dan organisasi profesi yaitu ABKIN. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa konselor perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling.
Banyak tokoh yang menyebutkan bahwa konselor perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Hall & Hornby (2003) dan Neukrug (2012) menyatakan bahwa konselor tidak bisa bekerja sendirian, akan tetapi perlu adanyapartnership, kerja sama, kolaborasi, dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait. Kemudian, Schellenberg (2008) menyatakan bahwa perlu kerja sama antara konselor dan stakeholders, staf administrasi sekolah, orang tua untuk mencapai keberhasilan program bimbingan konseling yang dibuat. Konselor juga dapat menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar sekolah seperti psikolog, psikiater, pekerja sosial, tokoh agama, dan konselor yang lain dengan persetujuan konseli (Sederholm, 2003).
  • Tidak adanya manajemen bimbingan konseling yang baik di sekolah
Tidak semua konselor menyadari pentingnya manajemen bimbingan konseling di sekolah. Di salah satu SMK di kota Ngawi misalnya, belum jelas bagaimana manajemen bimbingan konseling di sekolah. Bentuk-bentuk kerja sama antara konselor, guru mata pelajaran, wali kelas dan staf sekolah tidak jelas. Berbeda dengan di salah satu SMA di kota Surabaya, terdapat papan manajemen bimbingan konseling di ruang bimbingan konseling, tetapi pelaksanaan manajemen bimbingan konseling tidak berjalan dengan baik. Sehingga, dampaknya muncul kerancuan kinerja guru, wali kelas, dan konselor. Permasalahan-permasalahan psikologis anak yang seharusnya konselor yang menangani, tapi bukan konselor yang menangani, melainkan wali kelasnya.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika tidak adanya manajemen bimbingan konseling yang baik di sekolah adalah konselor membuat manajemen bimbingan konseling di sekolah. Manajemen bimbingan konseling merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dalam modul pelatihan implementasi kurikulum 2013 untuk konselor dijelaskan bahwa kelancaran jalannya pelayanan bimbingan dan konseling memerlukan manajemen yang cukup efektif dan efisien, baik manajemen untuk terlaksanaannya layanan bagi masing-masing materi layanan, maupun ketatalaksanaan keseluruhan pelayanan bimbingan konseling pada satuan unit kerja. Dengan adanya manajemen bimbingan konseling yang baik, akan menghasilkan alur kinerja konselor yang jelas. Sehingga kinerja konselor akan menjadi lebih efektif dan efisien.
  • Tidak melaksanakan evaluasi program bimbingan dan konseling
Konselor sekolah profesional sebagai bagian dari tim pendidik di sekolah memiliki kinerja yang menunjang pencapaian tujuan yang dicanangkan oleh konselor sekolah (Dahir & Stone, 2009). Kinerja konselor sekolah tersebut tertuang dalam program layanan konseling dan program tersebut terbukti keefektifannya dalam pencapaian tujuan sekolah dan peningkatan prestasi belajar siswa (Astramovich, Coker & Hoskins, tanpa tahun). Untuk menguji keefektifan dan memperbaiki program layanan bimbingan dan konseling perlu dilakukan eveluasi. Evaluasi program layanan bimbingan konseling juga bisa menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan untuk memverifikasi kekuatan program layanan konseling (Otto, 2001).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua konselor melaksanakan evaluasi. Berdasarkan observasi yang pernah dilakukan penulis di salah satu SMA di Kabupaten magetan, konselor tidak melakukan evaluasi program layanan bimbingan dan konseling. Sehingga tidak ada perbaikan program layanan bimbingan dan konseling dari tahun ke tahun. Banyak alasan konselor tersebut tidak melakukan evaluasi program layanan, antara lain, ketidakmampuan konselor melakukan evaluasi, minimnya minat konselor untuk belajar melakukan evaluasi program layanan bimbingan konseling, dan minimnya pelatihan yang diberikan kepada konselor untuk mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor tidak melaksanakan evaluasi adalah adanya sosialisasi dan pelatihan dalam bentuk in-service training yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi program bimbingan konseling. In-service training bisa dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Univesitas, dan organisasi profesi yaitu ABKIN. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan konselor dalam melaksanakan evaluasi program bimbingan konseling.
  • Ruang bimbingan konseling yang kurang memadai
Belum semua sekolah mampu memfasilitasi keberadaan ruang bimbingan konseling yang layak dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengalaman penulis, ditemukan ruang bimbingan konseling yang tidak layak digunakan sebagai ruang bimbingan konseling. Ruang bimbingan konseling di salah satu SMK di kota Ngawi bersanding dengan ruang UKS, tidak memiliki ventilasi, dan ruang bimbingan konseling yang berada di bawah tangga. Selain beberapa fakta tersebut, ada juga beberapa sekolah di kota Ngawi yang tidak mempunyai ruang bimbingan konseling sama sekali sehingga konselor berada di ruang guru. Selanjutnya, ruang bimbingan konseling di salah satu kota Padang letaknya jauh dari kelas tempat proses belajar mengajar siswa sehingga tidak ada minat siswa untuk mendatangi ruang bimbingan konseling, bahkan ada siswa yang tidak tahu letak ruang bimbingan konseling.
Penulis juga menemukan ruang bimbingan konseling yang pada dasarnya sangat layak, akan tetapi pihak konselor belum mampu memanfaatkan ruang tersebut secara maksimal. Salah satu SMA di kota Surabaya memiliki ruang bimbingan konseling sangat luas, terdapat lemari-lemari penyimpan data siswa yang memadai, dan terdapat dua bilik ruang konseling individu. Akan tetapi, ruang konseling individu kurang dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya dan difungsikan sebagai tempat menghukum siswa yang melanggar tata tertib. Selanjutnya, salah satu SMP di kota Surabaya memiki ruang bimbingan konseling yang luas, ber-AC dan nyaman. Akan tetapi, ruang bimbingan konseling tersebut lebih banyak digunakan oleh guru-guru yang sedang tidak bertugas hanya untuk mengobrol, merokok, dan bahkan tidur. Berikutnya salah satu SMK di Pringsewu, Lampung juga memiliki ruang bimbingan konseling yang layak dan memadai. Akan tetapi, ruang konseling individu tidak difungsikan sesuai fungsinya. Ruang konseling individu lebih banyak difungsikan untuk menyimpan buku-buku dan barang-barang yang tidak terpakai.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika tidak adanya ruang bimbingan konseling adalah penekanan konselor untuk mengajukan permohonan pengadaan ruang bimbingan konseling yang memadai kepada kepala sekolah. Sarana dan prasarana tersebut dimanfaatkan untuk menunjang kinerja konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling. Pengadaan ruang bimbingan konseling memperhatikan beberapa kriteria. Dalam hal ini, ABKIN (2007) merekomendasikan kriteria ruang bimbingan dan konseling di sekolah, yaitu (a) lokasi ruang bimbingan dan konseling mudah diakses (strategis) oleh konseli tetapi tidak terlalu terbuka sehingga prinsip-prinsip konfidensial tetap terjaga; (b) jumlah ruang bimbingan dan konseling disesuaikan dengan kebutuhan jenis layanan dan jumlah ruangan; (c) antar ruangan sebaiknya tidak tembus pandang; dan (d) jenis ruangan yang diperlukan meliputi ruang kerja, ruang administrasi/data, ruang konseling individual, ruang bimbingan dan konseling kelompok, ruang biblio terapi, ruang relaksasi/desensitisasi, dan ruang tamu.
Sementara itu, BNSP memberikan gambaran yang berbeda tentang standar sarana yang terkait dengan ruang bimbingan dan konseling di sekolah. Adapun standar ruang bimbingan dan konseling adalah (a) ruang konseling berfungsi sebagai tempat peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir; (b) Luas minimum ruang konseling 9 m2; (c) ruang konseling dapat memberikan kenyamanan suasana dan menjamin privasi peserta didik, dan (d) ruang konseling dilengkapi berbagai sarana penunjang lainnya (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 12 Februari 2014).
  • Konselor enggan bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadai
Ketiadaan sarana dan prasarana itu seharusnya tidak menjadi halangan bagi konselor untuk mengupayakan pelaksanaan layanan bimbingan konseling yang optimal untuk membantu siswa. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa terdapat oknum konselor di salah satu SMA di kota Ngawi yang menyatakan bahwa ia tidak bisa melakukan layanan konseling individu, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok dan layanan-layanan lainnya karena tidak adanya ruang bimbingan konseling. Fakta serupa juga terjadi di salah satu SMP di kota Ngawi, yang juga tidak melakukan layanan bimbingan konseling secara optimal dengan alasan tidak adanya ruang bimbingan konseling.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika keengganan konselor bekerja ketika sarana dan prasarana tidak memadaiadalah penekanan konselor untuk lebih kreatif dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling walaupun sarana dan prasarana kurang mendukung. Hal ini, sesuai dengan amanat Permendiknas No. 27 tahun 2008 dalam kompetensi kepribadian bahwa konselor harus menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif. Kreatifitas sangat dibutuhkan konselor dalam mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling (Nicholson & Golsan, 1983).
  • Konselor hanya memberikan nasehat dalam proses konseling
Banyak faktor mengapa konselor lebih banyak memberikan nasehat daripada menerapkan pendekatan-pendekatan konseling. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis pada salah satu konselor SMA di kota Ngawi, alasan pertama adalah konselor tidak berasal dari latar belakang bimbingan konseling sehingga tidak memahami hakekat konseling dengan benar dan alasan kedua adalah pemberian nasehat dirasa konselor lebih mudah daripada melakukan konseling dengan pendekatan-pendekatan konseling.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor hanya memberikan nasehat dalam proses konseling adalah penekanan konselor untuk mempelajari kembali pendekatan-pendekatan dan teknik-teknik konseling. Hal ini sangat diperlukan mengingat tidak semua konseli bisa menerima nasehat konselor. Selain itu, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan menasehati. Pemberian nasehat lebih cenderung pada counselor-centered bukan client-centered yang bisa berpotensi menghacurkan hubungan konseling (Neukrug, 2012). Jika mengacu pada teori person-centered yang dicetuskan oleh Rogers, manusia pada dasarnya dapat dipercaya, memiliki akal, mampu memahami diri dan pengarahan diri sendiri, mampu membuat perubahan yang konstruktif, dan mampu untuk hidup efektif dan produktif (Corey, 2009). Sehingga, dapat dipahami bahwa proses konseling bukanlah sebuah proses pemberian nasehat, akan tetapi bagaimana konselor memanfaatkan potensi yang dimiliki manusia untuk mengarahkan dirinya dalam mencapai kehidupan yang efektif dan produktif.
  • Konselor kurang memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai
Fakta terjadi masih banyak konselor yang kurang terampil dalam mempraktekkan keterampilan dasar konseling. Berdasarkan pengalaman penulis pada waktu PPL, beberapa fenomena yang terjadi adalah konselor kurang menyambut konseli dengan baik ketika konseli ingin konseling dengan konselor, konselor kurang memperhatikan kenyamanan konseli dalam melakukan konseling, konselor tidak melakukan konseling tidak di ruang konseling, konselor melakukan konseling dengan kurang memberikan perhatian pada konseli, konselor melakukan konseling sambil berbicara dengan guru yang lain, konselor memberikan respon yang kurang menyenangkan pada pernyataan konseli, dan sebagainya.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor kurang memiliki keterampilan dasar konseling yang memadai adalah penekanan konselor untuk mempelajari dan berlatih kembali keterampilan dasar konseling. Sebagai seorang konselor tentunya harus memiliki berbagai keterampilan dasar konseling agar mencapai tujuan konseling yang efektif (Cormier, Nurius & Osborn, 2009; Shertzer & Stone, 1980). Terdapat beberapa keterampilan dasar konseling, yaitu a) keterampilan attending;b) listening responses yang meliputi klarifikasi, paraprase, refleksi, dan menyimpulkan; dan c) influencing responses yang meliputi keterampilan bertanya, interpretasi, pemberian informasi, immediacy, self-disclosure, dan konfrontasi (Cormier, Nurius & Osborn, 2009).
  • Konselor hanya menangani anak bermasalah
Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak guru bimbingan konseling yang fokusnya hanya menangani anak-anak bermasalah. Hal tersebut dibuktikan dengan pengalaman pribadi penulis ketika melaksanakan PPL di salah satu SMA di Surabaya. Konselor lebih banyak fokus pada penanganan anak yang bermasalah saja. Akan tetapi, anak-anak yang punya potensi baik di bidang akademik atau non akademik kurang mendapat bimbingan secara berkelanjutan agar potensi mereka semakin berkembang secara optimal.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika konselor yang hanya menangani anak bermasalah adalah penekanan konselor untuk mencari informasi tentang konteks tugas konselor. Dalam Permendiknas No. 27 tahun 2008 tersebut disebutkan tentang konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa konselor tidak hanya menangani anak bermasalah, akan tetapi, lebih kepada pengembangan potensi yang dimiliki konseli, memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan, dan peduli pada kemaslahatan umum.
  • Kurangnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment
Tidak semua konselor melakukan need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan dan konseling. Beberapa konselor tidak melakukan need assesment. Fenomena ini terjadi pada konselor di salah satu konselor di SMA kota Surabaya. Konselor tidak melakukan need assesment sebagai dasar pembuatan progam bimbingan dan konseling. Konselor hanya melakukan copy paste dari program tahun-tahun sebelumnya.
Solusi yang ditawarkan untuk menangani problematika kurangnya kesadaran konselor akan pentingnya need assesment adalah adanya sosialisasi dalam bentuk in-service training yang berkaitan dengan pentingnya need assesment sebagai dasar pembuatan program bimbingan konseling. Need assement menjadi salah satu aspek penting yang perlu dilakukan konselor dalam membuat progam bimbingan dan konseling yang komprehensif (Gysbers & Henderson, 2006). Informasi yang dihimpun dengan pelaksanaan need assesment dapat membantu konselor untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa yang kemudian sebagai dasar pemberian layanan bimbingan dan konseling (Astramovich, 2011). Jika program bimbingan dan konseling disusun berdasarkan kebutuhan siswa, maka diharapkan program bimbingan dan konseling efektif diberikan kepada siswa.

Fokus Problematika Bimbingan dan Konseling
Fokus problematika bimbingan dan konseling yang diangkat adalah konselor yang bertindak sebagai polisi sekolah. Banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bersalah itu dan cenderung menghukum siswa yang bermasalah. Anggapan seperti itu timbul karena adanya fakta bahwa konselor sekolah belum bisa berperan layaknya seorang konselor sekolah.
Terdapat fenomena-fenomena konselor bertindak sebagai polisi sekolah. Berdasarkan pengalaman penulis ketika PPL di salah satu SMA di kota Surabaya seperti konselor berdiri di depan gerbang sekolah menunggu siswa yang terlambat dan menghukumnya. Selain itu, konselor memberi tindakan dengan hukuman bagi siswa yang melanggar tata tertib sekolah, konselor melakukan tindakan dengan hukuman bagi siswa yang membolos, konselor memotong rambut siswa yang panjang, konselor memarahi dan mengintrogasi siswa yang dianggap membuat masalah di sekolah, dan sebagainya.
Pada desember 2013 yang lalu juga terjadi pemukulan yang dilakukan oleh oknum konselor di Gorontalo. Seorang siswa SMU di Kabupaten Gorontalo, muntah darah setelah dipukul konselornya. Siswa tersebut dipukul hingga tergolek lemas di ruang instalasi gawat darurat (IGD) Rumah Sakit Umum (RSU) dr Dundo Limboto (Sindonews.com, diakses 12 Februari 2014). Fenomena ini tentunya akan mencederai profesi konselor yang sesungguhnya adalah profesi yang mulia.
Fenomena-fenomena yang terjadi seperti yang telah disebutkan di atas tentunya akan berdampak negatif pada hubungan antara konselor dan konseli. Konselor yang seharusnya menjadi sahabat siswa, tapi seakan menjadi pribadi yang ditakuti, dihindari, dan bahkan dijauhi oleh siswa. Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa konselor di tempat penulis PPL, fenomena-fenomena tersebut timbul karena banyak diantara mereka yang menganggap bahwa jika konselor tidak melakukan tindakan dengan hukuman, maka tidak akan membuat perubahan pada siswa dan tidak akan memberikan efek jera pada siswa yang suka melanggar peraturan. Selain itu, juga ada anggapan bahwa teori dan fakta dilapangan itu jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang. Oleh karena itu, akan sulit membantu anak menemukan alternatif-alternatif untuk membuat perubahan pada siswa jika menganut teori yang dipelajari di perguruan tinggi.
Konselor berperan sebagai polisi sekolah pada hakekatnya bukanlah profil konselor yang sesungguhnya. Konselor yang berperan sebagai polisi sekolah tersebut hanya akan membuat hubungan yang tidak baik antara konselor dan konseli. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Rogers (dalam Frankel & Sommerbeck, 2008) menyatakan bahwa hubungan antara konselor dan konseli adalah kekuatan utama dalam melaksanakan konseling. Rogers (1957) menyatakan terdapat tiga kualitas pribadi konselor yang mencakup (a) kongruen (keaslian, atau realitas); (b) penghargaan positif tak bersyarat (penerimaan dan peduli); dan (c) pemahaman empatik yang akurat (kemampuan untuk sangat memahami dunia subjektif dari orang lain). Sedangkan Corey (2009) menyebutkan karakteristik konselor yang efektif adalah: (a) konselor efektif memiliki identitas; (b) konselor yang efektif menghormati dan menghargai diri mereka sendiri; (c) konselor yang efektif terbuka terhadap perubahan; (d) konselor yang efektif membuat pilihan yang berorientasi pada kehidupan; (e) konselor yang efektif adalah otentik, tulus, dan jujur; (f) konselor yang efektif memiliki selera humor; (g) konselor yang efektif bersedia mengakui kesalahan mereka; (h) konselor yang efektif mempunyai orientasi hidup di saat sekarang; (i) konselor yang efektif menghargai perbedaan budaya; (j) konselor yang efektif memiliki minat yang tulus dalam membantu pencapaian kesejahteraan orang lain; (k) konselor yang efektif memiliki keterampilan interpersonal yang efektif; (l) konselor yang efektif sangat terlibat dalam pekerjaan mereka dan memperoleh makna dari hal itu; (m) konselor yang efektif semangat; dan (n) konselor yang efektif mampu mempertahankan batas-batas yang sehat.

Solusi Fokus Problematika Bimbingan Konseling
Solusi yang ditawarkan pada fokus problematika bimbingan dan konseling adalah:
Solusi pada diri konselor
Solusi yang diarahkan kepada diri konselor untuk mengubah peran konselor sebagai polisi sekolah menjadi seorang konselor profesional adalah:
  • Mempelajari kembali profil seorang konselor profesional
Tidak semua konselor memahami bagaimana karakteristik konselor profesional. Guru bimbingan dan konseling seoptimal mungkin dapat menginternalisasi karakteristik profesi konselor sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kepribadian dalam dirinya. Terdapat beberapa ahli yang mendeskripsikan bagaimana karakteristik konselor profesional. Seperti Rogers (1957) yang menyebutkan konselor profesional setidaknya memiliki 3 atribut pribadi konselor. Sedangkan Corey (2009) mendeskripsikan 14 karakteristik konselor yang efektif. Karakteristik-karakteristik tersebut perlu dipahami dan diinternalisasi oleh konselor. Sedangkan di Indonesia konselor profesional adalah konselor yang memiliki (a) kualifikasi akademik S1 bimbingan konseling dan Pendidikan Profesi Konselor; dan (b) memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional (Permendiknas Nomor 27 tahun 2008).
  • Melaksanakan refleksi diri tentang kekurangan yang dimiliki untuk menjadi seorang konselor profesional
Refleksi diri perlu dilakukan konselor untuk perkembangan profesional konselor. Dengan melakukan refleksi diri, konselor dapat memahami bagaimana kesenjangan yang terjadi antara pelaksanaan konseling yang telah dilakukan dan kerangka konseptual yang ada. Sehingga dari kesenjangan itu, dapat diketahui bagaimana pemecahan masalah yang bisa dilakukan konselor untuk praktik konseling profesional selanjutnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Ward & House (1998) yang menyatakan bahwa refleksi diri dapat dilakukan konselor untuk merekonstruksi pengalaman konseling yang telah dilakukan menggunakan repertoar pemahaman, gambar, dan tindakan untuk membingkai situasi mengganggu sehingga intervensi pemecahan masalah dapat dihasilkan.
  • Mengikuti berbagai macam seminar dan lokakarya
Salah satu karakteristik konselor efektif menurut Corey (2009) adalah terbuka terhadap perubahan. Selain itu, Permendiknas Nomor 27 tahun 2008 juga menyatakan bahwa konselor profesional adalah konselor yang memiliki ketersediaan untuk mengembangkan pribadi dan profesionalitasnya secara berkelanjutan. Pengembangan pribadi dan profesional dapat dicapai dengan mengikuti berbagai macam seminar dan lokakarya. Seminar dan lokakarya menyediakan berbagai macam informasi baru yang sangat berguna untuk diterapkan dalam praktik konseling secara profesional.
  • Mengikuti studi lanjut baik jenjang pendidikan profesi konselor atau magister bimbingan dan konseling
Corey (2009) dan Permendiknas nomor 27 tahun 2008 mengamanatkan bagi konselor untuk mengembangkan profesionalitasnya secara berkelanjutan. Karakteristik konselor yang terbuka terhadap perubahan untuk mengembangkan profesionalitas konselor secara berkelanjutan dapat ditempuh dengan berbagai jalan. Selain mengikuti seminar dan lokakarya, pengembangan profesionalitas dapat ditempuh dengan mengikuti studi lanjut. Studi lanjut yang ditempuh bisa Pendidikan Profesi Konselor atau jenjang Magister Bimbingan Konseling di Universitas yang terakreditasi.
  • Mentaati kode etik ABKIN
Salah satu syarat sebuah profesi adalah adanya kode etik. Profesi konselor memiliki kode etik yang dikeluarkan oleh organisasi profesi yaitu ABKIN. Kode etik profesi dinyatakan dalam bentuk seperangkat standar, peraturan, dan/atau pedoman yang mengatur dan mengarahkan ucapan, tindakan, dan/atau perilaku konselor sebagai pemegang kode etik yang bekerja pada berbagai sektor dalam interaksi mereka dengan mitra kerja dan sasaran layanan atau klien serta anggota masyarakat pada umumnya.
Optimalisasi pre-service training
Seorang konselor pada dasarnya sudah dipersiapkan melalui lembaga pendidikan guru sebelum terjun ke dalam jabatannya. Pendidikan persiapan itu disebut pre-service training. Program pre-service training menekankan pada penyaringan yang selektif terhadap calon guru/konselor dengan memperhatikan kualitas, moral dan kepribadiannya. Kualitas, moral, dan kepribadian konselor akan memacu pelayanan bimbingan konseling yang optimal dan memiliki pengaruh pada siswa/konseli. Calon konselor yang terjaring dalam pre-service training setidaknya memiliki karakteristik konselor yang efektif seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1957) dan Corey (2009).
Keterampilan mengajar adalah bagian penting dari perkembangan guru profesional dan memainkan peran penting dalam praktik guru sehari-hari di dalam kelas. Guru menggunakan keterampilan mengajar untuk merancang, mengajar dan mengatur kegiatan belajar di dalam dan di luar ruang kelas (Zhao & Jiao, 2012). Begitu juga dengan keterampilan konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling adalah bagian penting dari perkembangan guru dan praktik konseling dengan siswa (Cormier, Nurius & Osborn, 2009). Sangat penting bahwa pelatihan keterampilan melaksanakan layanan bimbingan konseling secara memadai yang diterapkan dalam bentuk pre-service trainingPre-service training dapat membantu calon konselor untuk memperlancar terjun ke tempat kerja (Zhao & Jiao, 2012).
Corporation for National & Community Service menyatakan 10 tips untuk mempersiapkan pre-service training. Adapun 10 tips tersebut adalah:
  1. Perencanaan. Semakin terorganisasi, semakin baik pelaksanaan pre-service training. Dalam perencaaan, penyelenggaraan kegiatan pre-service training harus sistematis mempertimbangkan situasi dan kebutuhan, metode dan potensi masalah yang timbul.
  2. Membuat orientasi berbasis hasil. Orientasi kegiatan dirancang berdasarkan hasil yang ingin dicapai. Kemudian memilih topik dan metode yang akan menghasilkan hasil tersebut.
  3. Membuat pre-service training benar-benar interaktif dan berbasis pengalaman. Ini berarti kegiatan pre-service training lebih banyak menggunakan sesi tanya jawab.
  4. Berhati-hati dalam memilih dan mempersiapkan fasilitator dan presenter. Memilih fasilitator dan presenter berdasarkan keterampilan mereka, bukan sekedar konten pengetahuan mereka. Penyelenggara pre-service training hendaknya memastikan fasilitator dan presenter tahu apa yang diharapkan pihak penyelenggara.
  5. Menekankan pada kerja sama tim. Penyelenggara kegiatan in-service taining memberikan penekanan pada peserta untuk bekerja dalam sebuah tim.
  6. Model etika pelayanan. Membangun keinginan individu untuk melayani, dan mencerminkan manfaat dari layanan. Berbicara tentang layanan secara langsung dan jujur​​, dan mengkomunikasikan harapan yang realistis.
  7. Menggunakan peserta sebagai sumber daya. Memberi mereka kesempatan untuk mengajarkan satu sama lain, melalui kelompok-kelompok pembelajaran kooperatif dan kegiatan mengajar rekan spesifik lainnya. Menggunakan mereka sebagai co-fasilitator di daerah-daerah di mana mereka memiliki keahlian khusus.
  8. Menghubungkan pelatihan dengan tugas pelayanan. Pada poin ini menekankan pada supervisor yang bekerja dengan anggota untuk merencanakan kegiatan pelayanan mereka. Semakin relevan orientasi kepada tugas yang sebenarnya, lebih menarik dan berguna untuk anggota.
  9. Memantau, menilai, dan mengevaluasi. Sepanjang sesi, meminta umpan balik anggota, dan membuat perbaikan segera. Menilai kegiatan-kegiatan khusus dan sesi keseluruhan sebagai dasar untuk perubahan tahun selanjutnya. Tindak lanjut untuk melihat apakah kemampuan belajar dipertahankan dan digunakan.
  10. Kegiatan pre-service training sebaiknya berbasis pengalaman. Pengetahuan dan keterampilan akan berkembang pada kesempatan ini (https://www.nationalserviceresources.gov, diakses 4 April 2014).
Optimalisasi in-service training
Rycus dan Hughes (2000), mendefinisikan in-service training ini sebagai pelatihan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang. Program in-service training ini akan membantu konselor mengembangkan kemampuan dan keterampilan sebagai konselor profesional (Drapela, 1974; Hembling & Mossing, 1978). Kegiatan in-service training bisa dilakukan dengan mengadakan talk show tentang bimbingan dan konseling, workshop tentang bimbingan dan konseling, seminar tentang bimbingan dan konseling, demonstrasi memberikan layanan bimbingan dan konseling menurut metode-metode baru, kunjungan-kunjungan ke sekolah-sekolah diluar daerah, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut akan menyegarkan, memperkaya dan memperbaharui berbagai keterampilan dan kemampuan yang diperlukan sebagai tuntutan perubahan cepat yang terjadi dalam kehidupan konseli. program in-service training bagi konselor juga akan membawa konselor berinovasi dalam melakukan layanan konseling (Clarke dkk., 1978). Kegiatan-kegiatan seperti MGBK dan lokakarya menjadi media penyegaran kemampuan yang semakin diperlukan.
Beberapa penelitian telah dilaksanakan untuk menguji keefektifan program in-service training. Penelitian dilakukan oleh McEvoy & McConkey (1991) yang berjudul “SeIf-instructional videocourses: a cost-effective approach to in-service training of teachers in special education”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa in-service training dengan pendekatanvideocourse adalah layak dan sukses. Guru tidak hanya belajar dari videocourse, tatapi juga memanfaatkannya menjadi sebuah pendekatan praktik pengajaran yang menghasilkan peningkatan kemampuan numerik murid mereka. Selain itu, laporan guru di lapangan juga sangat positif.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Sari (2007). Penelitian berjudul “The Influence of an In-service Teacher Training (INSET) Programme on Attitudes towards Inclusion by Regular Classroom Teachers Who Teach Deaf Students in Primary Schools in Turkey”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program In-service Teacher Training (INSET) dapat meningkatkan pengetahuan yang berdampak pada perubahan sikap yang lebih positif pada guru yang mengajar siswa sekolah dasar yang mengalami masalah pendengaran di Turki.
Tidak semua penelitian tentang in-service training menunjukkan keberhasilan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sahbaz (2011) yang berjudul “The effectiveness of in-service training for school counselors on the inclusion of students with disabilities” hasilnya adalah program in-service training tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kemampuan konselor. Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan pelaksanaan program in-service training hendaknya dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama dan dengan persiapan yang matang.
Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Gunes dkk., (2011) yang berjudul “The perceptions and needs of science and primary school teachers about in-service training”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% guru menyatakan tidak mendapatkan keuntungan dari program in-service training. Oleh karena itu, Gunes dkk., merekomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan keefektifan in-service training. Rekomendasi pertama dadalah pelaksanaan program in-service training harus dilaksanakan hanya untuk mengembangkan kualifikasi guru sesuai dengan bidangnya dan mempertimbangkan kebutuhan guru. Rekomendasi yang kedua adalah guru juga harus diberi kesempatan yang lebih banyak untuk berlatih secara langsung dalam kegiatan in-service training. Rekomendasi ketiga adalah pelaksanaan in-service training harus melibatkan universitas dan departemen pendidikan. Dan rekomendasi yang terakhir adalah pada akhir kegiatan in-service training hendaknya dilakukan evaluasi baik secara lisan maupun tulis.
Berikut ini akan digambarkan suatu strategi pelaksanaan program in-service training yang disebut dengan the INSET strategies model (O’Sullivan, 2001; O’Sullivan, 2002). Adapun gambaran siklusnya adalah sebagai berikut:
Gambar 1.1 The INSET strategies model
INSET
Sumber: O’Sullivan, M.C. 2001. The Inset Strategies Model: an Effective Inset Model for Unqualified and Underqualified Primary Teachers in Namibia. International Journal of Educational Development, 21: 93-117.
Berdasarkan gambar 1.1 di atas, model strategi INSET terdiri dari 6 tahap. Adapun keenam tahap yaitu: (1) asesmen kebutuhan; (2) pengorganisasian; (3) menentukan konten; (4) proses pelatihan; (5) tindak lanjut; dan (6) evaluasi. Keenam tahap dalam The INSET strategies model berbentuk siklus.
Tahap yang pertama adalah asesmen kebutuhan. Program in-service training yang akan dilaksanakan hendaknya sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan. Oleh karena itu, penting dilaksanakan asesmen kebutuhan sebagai dasar penyusunan program in-service training. Asesmen kebutuhan akan meningkatkan keefektifan program in-service training, karena, materi yang diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peserta pelatihan.
Tahap yang kedua adalah pengorganisasian. Hasil dari asesmen kebutuhan dianalisis dan diorganisasikan sehingga akan diketahui tujuan dilaksanakannya program in-service training. Tujuan program in-service training adalah apa yang ingin dicapai dari program tersebut.
Tahap yang ketiga adalah menentukan konten. Pada tahap ini akan ditentukan konten apa yang akan disampaikan kepada peserta layanan. Penentuan konten berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari program in-service training.
Tahap yang keempat adalah proses pelatihan. Pada tahap ini, terjadi proses pelatihan dari peserta pelatihan. Pada tahap terjadi implementasi konten yang telah ditentukan pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini diharapkan peserta pelatihan mampu menyerap keterampilan baru yang telah diterima dari program in-service training.
Tahap yang kelima adalah tindak lanjut. Pada tahap tindak lanjut terjadi proses pengawasan dan tindak lanjut oleh pelaksana program in-service training. Ini dilaksanakan untuk mendorong peserta pelatihan memperoleh keterampilan baru dari program in-service training.
Tahap terakhir adalah tahap evaluasi. Pada tahap evaluasi, terjadi proses mengukur seberapa besar pengaruh program in-service training terhadap keterampilan baru yang dimiliki oleh peserta pelatihan. Hasil dari evaluasi ini, bersama dengan hasil asesmen kebutuhan, akan menjadi bahan pertimbangan untuk pengorganisasian program in-service training selanjutnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, optimalisasi program in-service training perlu dilakukan. Dengan optimalisasi programin-service training diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan sekaligus pengakuan pengguna profesi konseling. Adapun bentuk-bentuk in-service training untuk menangani problematika konselor yang bertindak sebagai polisi sekolah adalah sebagai berikut:
  • Sosialisasi dan pelatihan kepribadian konselor profesional
Menurut hasil penelitian dari Wampold 2001 (dalam Eriksen & McAuliffe, 2006) karakteristik pribadi yang ditunjukkan oleh konselor dapat berkontribusi pada hasil konseling daripada penggunaan teknik-teknik konseling. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karakteristik kepribadian konselor merupakan atribut penting yang harus dimiliki konselor. Rogers (1957) menyebutkan bahwa konselor profesional harus memiliki tiga atribut pribadi konselor, yaitu (1) kongruen; (2) penghargaan positif tak bersyarat; dan (3) pemahaman empatik yang akurat. Rogers meyakini jika konselor mampu menunjukkan ketiga atribut pribadi konselor tersebut, maka itu akan cukup bagi konselor untuk membantu konseli tumbuh dan berkembang secara optimal (Corey, 2009).
Pemerintah dan lembaga yang terkait perlu melakukan sosialisasi dan pelatihan tentang kepribadian bagi konselor yang berperan sebagai polisi sekolah. Sosialisasi dan pelatihan tersebut perlu dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini bertujuan agar konselor mengetahui dan memahami pentingnya karakteristik kepribadian konselor untuk pelaksanaan konseling yang optimal. Sosialisasi dan pelatihan kepribadian konselor juga dapat mendorong profesionalitas konselor dalam memberikan layanan konseling pada konseli.
  • Pelatihan self-awareness
Menurut penelitian yang dilakukan oleh American Counseling Association dan American Psychological Association,self-awareness yang dimiliki konselor merupakan salah satu aspek yang sangat penting terhadap efektivitas pelayanan konseling (Abney, 2002). Locke 1993 (dalam Abney, 2002) menetapkan bahwa self-awareness adalah tingkat pertama yang harus dilewati konselor dan itu adalah kondisi yang diperlukan sebelum konselor memulai proses memahami yang lain. Self-awareness menyangkut kesadaran tentang posisi-posisi dan nilai sebagai seorang calon konselor. Seorang konselor harus mampu menjawab jelas pertanyaan siapakah saya?, apakah yang penting bagi saya?, apakah signifikansi sosial terhadap apa yang saya lakukan dan mengapa saya menjadi seorang konselor? (Mappiare, 2011). Pertanyaan-pertanyaan ini bertujuan (1) setiap calon konselor memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya sehingga cenderung memiliki persepsi yang akurat tentang orang lain; (2) Calon konselor memiliki keterampilan dalam memahami dirinya, sehingga mereka mampu terampil memahami orang lain; (3) Ketika calon konselor yang memahami dirinya akan mampu mengajarkan cara memahami diri kepada orang lain; (4) Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara jujur dengan konseli pada saat proses konseling berlangsung (Yusuf, 2009).
Terdapat beberapa bentuk self awareness yang perlu ditunjukkan oleh konselor. Kode etik ACA menyebutkan bahwa (1) konselor menyadari keintiman dan tanggung jawab yang melekat dalam hubungan konseling; (2) konselor menyadari nilai, sikap, kepercayaan, dan perilaku mereka sendiri serta bagaimana hal tersebut berlaku dalam masyarakat yang beragam, dan menghindari memaksakan nilai-nilai mereka kepada konseli; dan (3) konselor menyadari posisi mereka berpengaruh terhadap konseli, dan mereka perlu menghindari mengeksploitasi kepercayaan dan ketergantungan konseli. Jika konselor memiliki tingkat self-awareness yang tinggi terhadap profesinya sebagai konselor, maka konselor akan menunjukkan kinerja yang optimal dan profesional.
                                         
Kesimpulan
Terdapat berbagai macam problematika bimbingan konseling. Salah satu problematika bimbingan konseling adalah konselor yang berperan sebagai konselor profesional. Konselor yang berperan sebagai polisi sekolah akan mencederai profesi konselor sebagai helping profesional. Selain itu, keefektifan pelaksanaan layanan konseling tidak akan akan optimal jika konselor menunjukkan perannya sebagai polisi sekolah. Perlu adanya pembenahan dan perbaikan agar konselor tidak berperan sebagai polisi sekolah. Terdapat berbagai macam solusi untuk meminimalisir problematika tersebut. Salah satu solusinya adalah dengan pemberian saran secara langsung kepada konselor untuk (1) mempelajari kembali profil seorang konselor profesional; (2) melaksanakan refleksi diri tentang kekurangan yang dimiliki untuk menjadi seorang konselor profesional; (3) mengikuti berbagai macam seminar dan lokakarya; dan (4) mengikuti studi lanjut baik jenjang pendidikan profesi konselor atau magister bimbingan dan konseling. Salusi lain yang bisa dilaksanakan adalah dengan optimalisasi pre-service training. Program pre-service training menekankan pada penyaringan yang selektif terhadap calon konselor dengan memperhatikan kualitas, moral dan kepribadiannya. Program pre-service training juga menyediakan berbagai macam pelatihan profesional bagi konselor sebelum konselor terjun secara langsung menjadi konselor sekolah. Solusi terakhir adalah program in-service training. In-service trainingdidefinisikan sebagai pelatihan yang dilaksanakan dalam pelaksanaan pekerjaan seseorang Program ini meliputi pelatihan kepribadian konselor dan pelatihan self-awareness.

Daftar Pustaka
ABKIN. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: ABKIN
ABKIN. 2011. Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia ABKIN. Semarang: ABKIN
Abney, P.C. 2002. A Study of the Relationship between the Levels of Self-Awareness within Students Enrolled in Counseling Practicum and the Measurements of their Counseling Effectiveness. Disertasi: University of North Texas.
Akhmadi, A. 2012. Peningkatan Kemampuan Konselor Profesional, Kajian Materi Diklat Jarak Jauh Guru Bimbingan Konseling. (Online), (www.himcyoo.files.wordpress.com) diakses 12 Februari 2014.
American Counseling Association. 2000. ACA code of ethics and standards of practice. (Online), (http://www.counseling.org), diakses 20 April 2014.
Astramovich, R. L., Coker, J. K., & Hoskins, W. J. Tanpa tahun. Training school counselors in program evaluation.American School Counseling Association.
Astramovich, R.L. 2011. Needs Assessment: A Key Evaluation Tool for Professional Counselors. (Online), (http://counselingoutfitters.com), diakses 12 Februari 2014.
Boeree, C.G. 2007. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Alih bahasa: Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Prismasophie.
Burger, J.M. 2011. Pesonality. USA: Wadsworth Cengage Learning.
Clarke, P., dkk. 1978.Rockford, Ill.: In-Service Training for Teachers. Journal of Communicution, 195-201.
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Thomson Brooks/Cole.
Cormier, S., Nurius, P.S. & Osborn, C.J. 2009. Interviewing and Change Strategies for Helpers: Fundamental Skills and Cognitive Behavioral Interventions. USA: Brooks/Cole.
Corporationfor National & Community Service. TrainingBriefs: Ten Tips for Successful Pre-Service Training, diakses 4 April 2014.
Dahir, C.A. & Stone, C.B. 2009. School Counselor Accountability: The Path to Social Justice and Systemic Change.Journal of Counseling & Development, 87: 12-20.
Drapela, V.J. 1974. In-Service Training for Pastoral Counselors. Journal of Religion and Health, 13 (2): 142-146.
Eriksen, K.P. & McAuliffe, G.J. 2006. Constructive Development and Counselor Competence. Counselor Education & Supervision, 45: 180-192.
Feist, J. & Feist, G.J. 2006. Theories of Personality. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Frankel, M & Sommerbeck, L. 2008. Nondirectivity: Attitude or Practice?. The Person-Centered Journal, 15: 1-2: 58-78.
Goodwin, R., & Giles, S. 2003. Social Support Provision and Cultural Values in Indonesia and Britain. Journal of Cross-Cultural Psychology, 34 (10): 1-6.
Gunes, T., dkk. 2011. The perceptions and needs of science and primary school teachers about in-service training.Procedia Social and Behavioral Sciences, 15: 1102-1109.
Gysbers, C.N. & Henderson, P. 2006. Developing and Managing Your School Guidance and Counseling Program.American Counseling Association: Alexandria.
Hall, C. & Hornby, G. 2003. Learning to Collaborate: Working Across the Divide. Dalam G. Hornby, C. Hall& E. Hall(Ed.),Counselling Pupils in Schools: Skills and Strategies for Teachers (hlm. 141-151). London: Routledge Falmer.
Hembling, D.W. & Mossing, J. 1978. An In-Service Basic Counseling Skills Training Program For Child Care Counselor.Child Care Quarterly, 7 (1): 72-86.
Kemendikbud. 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 untuk Guru BK/Konselor: Implementasi Pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
Mappiare, A. 2011. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Rajawali Press.
McEvoy, J. & McConkey, R. 1991. SeIf-instructional Videocourses: a Cost-Effective Approach to In-Service Training of Teachers in Special Education, British Journul of Educational Technology, 22 (3): 164-173.
Neukrug, E.S. 2012. The World of the Counselor: An Introduction to the Counseling Profession. USA: Brooks/Cole.
Nicholson, J.A. & Golsan, G. 1983. The Creative Counselor. USA: McGraw-Hill, Inc.
O’Sullivan, M.C. 2001. The Inset Strategies Model: an Effective Inset Model for Unqualified and Underqualified Primary Teachers in Namibia. International Journal of Educational Development, 21: 93-117.
O’Sullivan, M.C. 2002. Action Research and the Transfer of Reflective Approaches to In-Service Education and Training (INSET) for Unqualified and Underqualified Primary Teachers in Namibia. Teaching and Teacher Education, 18: 523-539.
Otto, C.N.C. 2001. An Evaluation of the School Counseling Program at Stillwater Area Schools in Stillwater, Minnesota. University of Wisconsin-Stout: The Graduate College.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (Online), (unnes.ac.id/wp-content/uploads/Permendiknas-no.-27-tahun-2008.pdf‎), diakses 12 Februari 2014.
Rogers, C.H. 1957. The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality Change. Journal of Consulting Psychology, 21: 95–103.
Rycus, J.S. & Huges, R.C. 2000. What Is Competency-Based In-Service Training. (Online), (www.narccw.org/…/Resource%20Paper%201.pdf),diakses 6 Maret 2014.
Sahbaz, U. 2011. The Effectiveness of In-Service Training For School Counselors on the Inclusion of Students With Disabilities. Educational Research and Reviews, 6 (8): 580-585.
Sari, H. 2007. The Influence of an In-service Teacher Training (INSET) Programme on Attitudes towards Inclusion by Regular Classroom Teachers Who Teach Deaf Students in Primary Schools in Turkey. Deafness and Education International, 9 (3): 131-146.
Schellenberg, R. 2008. The New School Counselor: Strategies for Universal Academic Achievement. USA: Rowman & Littlefield Education.
Sederholm, G.H. 2003. Counselling Young People in School. London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.
Shertzer, B. & Stone, S.C. 1980. Fundamental of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.
Sudrajad, A. 2013. Standar Ruang Bimbingan dan Konseling. (Online), (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/), diakses 12 Februari 2014.
Sue, D.W. & Sue, D. 2008. Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Online), (www.inherentdikti.net/files/sisdiknas.pdf), diakses 12 Februari 2014.
Ward, C.C., & House, R.M. 1998. Counseling Supervision: A Reflective Model. Counselor Education And Supervision, 38: 23-33.
Wolfgang, J, dkk. 2011. Developing Cross Cultural Competence: Applying Development and Prevention Ideals to Counseling Young Children. Makalah disajikan pada the annual convention of the Association for Counselor Educators and Supervisors (ACES), Nashville, 26-30 Oktober 2011. Dalam Eric database, (Online), (http://eric.ed.gov/), diakses 18 Desember 2013.
Yusuf, S. 2009. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zhao, J. & Jiao, J. 2012. A Podcasting-Based Pre-Service Teacher Training Model. Knowledge Management & E-Learning: An International Journal, 4 (1): 123-128.
Sumber : Wahyu di http://konselorwahyu.wordpress.com/2014/04/22/solusi-problematika-konselor-bertindak-sebagai-polisi-sekolah/
Comments
0 Comments

0 komentar: