Suatu waktu salah satu wartawan bertanya kepada almarhum
Gusdur jauh sebelum beliau menjadi Presiden RI. “Gus, jika suatu waktu ditunjuk
menjadi Menteri Pendidikan, program prioritas apa yang akan dilakukan?”, tanya
wartawan. “Sekolah-sekolah akan saya bubarkan, uangnya saya gunakan membangun bengkel
dan toko-toko, anak-anak pun saya suruh bekerja di situ”, seloroh Gusdur.
“Bukankah itu berarti semua pegawainya pada buta huruf dong Gus?”, tanya
wartawan itu kembali. “Lha emang-nya sekolah sekarang tidak buta huruf, yang sarjana
pun masih ada yang buta huruf. Sarjana kok tidak ngerti bidangnya, itu kan
konyol”, jawab Gusdur ketus.
Dialog singkat Gusdur di atas mengawali jawaban saya atas todongan
pertanyaan salah satu mahasiswa bimbingan konseling beberapa hari lalu di media
sosial. “Apa sih masalah utama yang dihadapi guru bimbingan konseling menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015?”.
Jika
jawaban Gusdur dirunut lebih panjang, maka masalah
guru bimbingan konseling dapat dibagi atas dua hal. Pertama adalah
tumpul membaca
tekstual konseling sehingga gagal memahami ekstratekstual. Kedua adalah
salah keyakinan terhadap posisi siswa sebagai pencipta bukannya
penggembira. Kegagalan atas dua aspek inilah yang menjadikan sarjana
bimbingan konseling gagal memahami pekerjaannya, sarjana yang miskin
pengetahuan atas bidangnya masing-masing.
Beban tersebut di atas akan terasa lebih runyam jika
dikaitkan dengan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai diterapkan
dipenghujung tahun 2015. ASEAN Economic Community
(AEC) sebagai pilar pertama dan utama dari penyatuan dan penguatan Komunitas
ASEAN akan berimplikasi langsung pada beberapa model hubungan dan transaksi.
Terbukanya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan aliran
modal adalah model-model transaksi dan hubungan yang baru. Implikasinya jelas,
mode adaptasi dan pembentukan identitas baru adalah proses sosial yang tidak
terelekkan[1],
sehingga pengelompokan baru, defenisi sejarah kehidupan yang baru dan pemberian
makna identitas merupakan tugas baru yang mesti dilangsungkan oleh para guru yang
berkecimpung dalam bimbingan dan konseling.
Fenomena Guru Gagal
Paham
“Saya ini sudah tua, mauma pensiun lagi tahun depan”.
“Konseling itu banyakan teoriji,nyatanya susah dijalankan di sekolah”, “Bimbingan
konseling itu rumit dijalankan secara ideal di sekolah”, “Susah menjalankan
teori bimbingan konseling karena kepala sekolah saja tidak paham”, Kasih keluar
saja itu anak dari sekolah kalau tidak mau mendengar”. Ungkapan-ungkapan menyedihkan ini kerap
terdengar dari para guru BK di sekolah termasuk oleh penulis sendiri. Sementara
di sisi lain permasalahan yang dihadapi oleh para siswa semakin kompleks dan
runyam.
Kenyataannya, para guru belum
juga mampu keluar dari dua bentuk kegagalan. Pertama adalah gagal membaca teks
dan kedua gagal memahami konteks. Berapa banyak guru kita yang memahami baik
berbagai teori-teori konseling? Dalam satu daerah, berapa banyak sekolah yang
pelaksanaan konseling sesuai dengan teori-teori yang ada? Ini baru tahap
membaca, tahap lafziyah, sekedar mengeja
setiap potongan bahasa-bahasa tekstual konseling. Kesenangan kita adalah berada
dalam zona nyaman seraya menyalahkan teori sebagai hal yang kurang relevan
dengan tingkat dan jenis masalah yang dihadapi.
Kegagalan kedua adalah
gagal memahami konteks atau dunia ekstratektual, suasana sosial historis atau
sebutlah dia perubahan sosial. Dalam bimbingan karir misalnya, semakin hari
semakin banyak pekerjaan yang berubah bentuk dengan kualifikasi yang berbeda? Contoh
sederhana. Setahun lalu, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar masih banyak
mempekerjakan manusia sebagai pembersih lantai. Tahun ini mulai digantikan oleh
tenaga mesin. Kualifikasinya sudah berubah dari tenaga manusia menjadi tenaga
mesin karena prinsip sejarah hari ini adalah efektivitas. Artinya apa? Nasehat dan
materi karir yang diajarkan setahun lalu kepada anak-anak juga ikut berubah
kalau tidak dikatakan usang. Para guru kurang siap memberikan materi yang mampu
berjalan beriring dengan suasana zaman bahkan seharusnya menjemput zaman.
Lalu dimana peran guru
bimbingan konseling dalam menjelasklan fenomena efektivitas ini kepada para
siswa? Lancar membaca teks kemudian berdialog dengan kenyataan sehingga menghasilkan
mode pembacaan baru. Ilmu itu terus berkembang, bergerak dinamis bersama
sejarah, kata Thomas Kuhn. Begitulah seharusnya memperlakukan zaman.
Salah Keyakinan
Triandis[2] menulis
bahwa identitas individu dipengaruhi oleh struktur kebudayaan yang
berbeda-beda. Bahwa setiap individu berbeda dalam memahami satu objek tertentu
berdasarkan cara pandang yang dibentuk oleh budayanya. Anehnya, orang-orang
sekolah masih meyakini bahwa sekolah mampu menyatukan keberagaman itu dalam
satu pola pengajaran tertentu. Masalah yang sangat beragam kemudian dipersempit
dalam satu cara pandang atas nama profesionalisme guru bimbingan konseling.
Cara pandang inilah yang
merusak perkembangan individu, kata Illich[3]. Sekolah
(Guru BK) berubah bentuk menjadi peng-kisah (pencerita) tentang kenyataan. Sekolah
berubah bentuk menjadi lembaga seleksi dan keselamatan baru, menumbuhkembangkan
akar kolektivisme merajam setiap individualisasi yang akan tumbuh. Kebajikan tertinggi
adalah memberikan sesuatu bukannya mencapai sesuatu dimana kesendirian tidak
mendapatkan tempat yang layak untuk berkembang. Tunduk dan patuh adalah ajaran
keselamatan yang paling ultim. Setiap anarkisme (baca:perbedaan) harus
ditumbangkan sebelum berkembang.
Keyakinan yang salah seperti ini tidak akan pernah melahirkan
sejarah. Sekolah hanya melahirkan partisipan bukan pencipta. Pencipta tidak
terlahir dari keseragaman (uniformitas)
kerumunan tapi dari kesendirian. Adam adalah pribadi yang dengan berani
melanggar aturan surga memakan buah pengetahuan. Hukumannya jelas, terbuang ke dunia ini yang sunyi dan jauh dari
kenikmatan ragawi. Adam adalah pencipta sejarah pertama manusia bumi. Begitupun
dengan Ibrahim ataupun Muhammad. Berani terbuang dari dari keluarga besarnya
yang nyaman dan damai tapi telah menuliskan sejarah besar bagi kaumnya di masa
mendatang. Prometheus, Galileo, Hypatia adalah individu-individu pencipta besar
yang harus tegak sendirian di depan umat manusia pada zamannya walaupun harus karam.
Akhirnya
ASEAN Economic Community 2015 adalah fase sejarah yang terbuka dan kokoh
efektivitas. Dengan mudahnya ditemukan
lembaga-lembaga pendidikan luar negeri berdiri kokoh di sudut-sudut kota
begitupun dengan tenaga pengajar yang berkualitas akan datang dari berbagai penjuru
dunia. Sayangnya fase sejarah ini hanya membutuhkan tenaga yang
berkualitas dan efektif, bukan yang buta huruf seperti yang dituduhkan Gusdur kepada
para sarjana kita. Pilihannya adalah pemegang kuasa atas sejarah atau sekedar
penggembira.
Pallangga Gowa, 27 Mei 2015
[1] Irwan Abdullah dalam
Konstruksi & Reproduksi Kebudayaan Baru Tahun 2007.
[2] Harry C Triandis Culture
and Social Behavior 1994.
Sumber : http://usmandjabbar.blogspot.com/2015/05/menakar-posisi-guru-bk-dalam-sejarah.html