Rabu, 19 Agustus 2015

Menakar Posisi Guru BK dalam Sejarah

Suatu waktu salah satu wartawan bertanya kepada almarhum Gusdur jauh sebelum beliau menjadi Presiden RI. “Gus, jika suatu waktu ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan, program prioritas apa yang akan dilakukan?”, tanya wartawan. “Sekolah-sekolah akan saya bubarkan, uangnya saya gunakan membangun bengkel dan toko-toko, anak-anak pun saya suruh bekerja di situ”, seloroh Gusdur. “Bukankah itu berarti semua pegawainya pada buta huruf dong Gus?”, tanya wartawan itu kembali. “Lha emang-nya sekolah sekarang tidak buta huruf, yang sarjana pun masih ada yang buta huruf. Sarjana kok tidak ngerti bidangnya, itu kan konyol”, jawab Gusdur ketus. 
 
Dialog singkat Gusdur di atas mengawali jawaban saya atas todongan pertanyaan salah satu mahasiswa bimbingan konseling beberapa hari lalu di media sosial. “Apa sih masalah utama yang dihadapi guru bimbingan konseling menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015?”.
Jika jawaban Gusdur dirunut lebih panjang, maka masalah guru bimbingan konseling dapat dibagi atas dua hal. Pertama adalah tumpul membaca tekstual konseling sehingga gagal memahami ekstratekstual. Kedua adalah salah keyakinan terhadap posisi siswa sebagai pencipta bukannya penggembira. Kegagalan atas dua aspek inilah yang menjadikan sarjana bimbingan konseling gagal memahami pekerjaannya, sarjana yang miskin pengetahuan atas bidangnya masing-masing.
Beban tersebut di atas akan terasa lebih runyam jika dikaitkan dengan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai diterapkan dipenghujung tahun 2015. ASEAN Economic Community (AEC) sebagai pilar pertama dan utama dari penyatuan dan penguatan Komunitas ASEAN akan berimplikasi langsung pada beberapa model hubungan dan transaksi. Terbukanya aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan aliran modal adalah model-model transaksi dan hubungan yang baru. Implikasinya jelas, mode adaptasi dan pembentukan identitas baru adalah proses sosial yang tidak terelekkan[1], sehingga pengelompokan baru, defenisi sejarah kehidupan yang baru dan pemberian makna identitas merupakan tugas baru yang mesti dilangsungkan oleh para guru yang berkecimpung dalam bimbingan dan konseling.
Fenomena Guru Gagal Paham
“Saya ini sudah tua, mauma pensiun lagi tahun depan”. “Konseling itu banyakan teoriji,nyatanya susah dijalankan di sekolah”, “Bimbingan konseling itu rumit dijalankan secara ideal di sekolah”, “Susah menjalankan teori bimbingan konseling karena kepala sekolah saja tidak paham”, Kasih keluar saja itu anak dari sekolah kalau tidak mau mendengar”. Ungkapan-ungkapan menyedihkan ini kerap terdengar dari para guru BK di sekolah termasuk oleh penulis sendiri. Sementara di sisi lain permasalahan yang dihadapi oleh para siswa semakin kompleks dan runyam.
Kenyataannya, para guru belum juga mampu keluar dari dua bentuk kegagalan. Pertama adalah gagal membaca teks dan kedua gagal memahami konteks. Berapa banyak guru kita yang memahami baik berbagai teori-teori konseling? Dalam satu daerah, berapa banyak sekolah yang pelaksanaan konseling sesuai dengan teori-teori yang ada? Ini baru tahap membaca, tahap lafziyah, sekedar mengeja setiap potongan bahasa-bahasa tekstual konseling. Kesenangan kita adalah berada dalam zona nyaman seraya menyalahkan teori sebagai hal yang kurang relevan dengan tingkat dan jenis masalah yang dihadapi.
Kegagalan kedua adalah gagal memahami konteks atau dunia ekstratektual, suasana sosial historis atau sebutlah dia perubahan sosial. Dalam bimbingan karir misalnya, semakin hari semakin banyak pekerjaan yang berubah bentuk dengan kualifikasi yang berbeda? Contoh sederhana. Setahun lalu, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar masih banyak mempekerjakan manusia sebagai pembersih lantai. Tahun ini mulai digantikan oleh tenaga mesin. Kualifikasinya sudah berubah dari tenaga manusia menjadi tenaga mesin karena prinsip sejarah hari ini adalah efektivitas. Artinya apa? Nasehat dan materi karir yang diajarkan setahun lalu kepada anak-anak juga ikut berubah kalau tidak dikatakan usang. Para guru kurang siap memberikan materi yang mampu berjalan beriring dengan suasana zaman bahkan seharusnya menjemput zaman.
Lalu dimana peran guru bimbingan konseling dalam menjelasklan fenomena efektivitas ini kepada para siswa? Lancar membaca teks kemudian berdialog dengan kenyataan sehingga menghasilkan mode pembacaan baru. Ilmu itu terus berkembang, bergerak dinamis bersama sejarah, kata Thomas Kuhn. Begitulah seharusnya memperlakukan zaman.
Salah Keyakinan
Triandis[2] menulis bahwa identitas individu dipengaruhi oleh struktur kebudayaan yang berbeda-beda. Bahwa setiap individu berbeda dalam memahami satu objek tertentu berdasarkan cara pandang yang dibentuk oleh budayanya. Anehnya, orang-orang sekolah masih meyakini bahwa sekolah mampu menyatukan keberagaman itu dalam satu pola pengajaran tertentu. Masalah yang sangat beragam kemudian dipersempit dalam satu cara pandang atas nama profesionalisme guru bimbingan konseling.
Cara pandang inilah yang merusak perkembangan individu, kata Illich[3]. Sekolah (Guru BK) berubah bentuk menjadi peng-kisah (pencerita) tentang kenyataan. Sekolah berubah bentuk menjadi lembaga seleksi dan keselamatan baru, menumbuhkembangkan akar kolektivisme merajam setiap individualisasi yang akan tumbuh. Kebajikan tertinggi adalah memberikan sesuatu bukannya mencapai sesuatu dimana kesendirian tidak mendapatkan tempat yang layak untuk berkembang. Tunduk dan patuh adalah ajaran keselamatan yang paling ultim. Setiap anarkisme (baca:perbedaan) harus ditumbangkan sebelum berkembang.  
Keyakinan yang  salah seperti ini tidak akan pernah melahirkan sejarah. Sekolah hanya melahirkan partisipan bukan pencipta. Pencipta tidak terlahir dari keseragaman (uniformitas) kerumunan tapi dari kesendirian. Adam adalah pribadi yang dengan berani melanggar aturan surga memakan buah pengetahuan. Hukumannya jelas,  terbuang ke dunia ini yang sunyi dan jauh dari kenikmatan ragawi. Adam adalah pencipta sejarah pertama manusia bumi. Begitupun dengan Ibrahim ataupun Muhammad. Berani terbuang dari dari keluarga besarnya yang nyaman dan damai tapi telah menuliskan sejarah besar bagi kaumnya di masa mendatang. Prometheus, Galileo, Hypatia adalah individu-individu pencipta besar yang harus tegak sendirian di depan umat manusia pada zamannya walaupun harus karam.
Akhirnya
ASEAN Economic Community 2015 adalah fase sejarah yang terbuka dan kokoh efektivitas.  Dengan mudahnya ditemukan lembaga-lembaga pendidikan luar negeri berdiri kokoh di sudut-sudut kota begitupun dengan tenaga pengajar yang berkualitas akan datang dari berbagai penjuru dunia. Sayangnya fase sejarah ini hanya membutuhkan tenaga yang berkualitas dan efektif, bukan yang buta huruf seperti yang dituduhkan Gusdur kepada para sarjana kita. Pilihannya adalah pemegang kuasa atas sejarah atau sekedar penggembira.
Pallangga Gowa, 27 Mei 2015

[1] Irwan Abdullah dalam Konstruksi & Reproduksi Kebudayaan Baru Tahun 2007.
[2] Harry C Triandis Culture and Social Behavior 1994.
[3] Ivan Illich, rituaslisasi kemajuan dalam Menggugat Pendidikan yang diterbitkan Pustaka Pelajar.

Sumber : http://usmandjabbar.blogspot.com/2015/05/menakar-posisi-guru-bk-dalam-sejarah.html
Comments
0 Comments

0 komentar: