Nilai dalam konseling
Maslow dan roger menekankan tentang arti
penting dari konsep nilai. Yakni nilai dapat didefinisikan sebagai keyakinan
kuat bahwa suatu kondisi akhir atau mode perbuatan adalah sesuatu yang bisa
diterima.[1] Kemudian Rokeach
(1973) membedakan antara nilai “instrumental” dan “terminal”. Nilai
instrumental berkaitan dengan cara yang menjadikan tujuan ini dapat
dicapai. Misalnya seperti melalui kompetensi, kejuaraan ata ambisi. Nilai para konselor
juga mempengaruhi nilai yang dipegang oleh klien. Jadi nilai dalam konseling
yakni : keyakinan kuat bahwa suatu kondisi akhir adalahsesuatu yang bisa
diterima.Sedangkan nilai dari konselor mempengaruhi nilaiyang dipegang oleh
konseli.
Kitchener (1984) mengidentifikasi empat level
pemikiran moral yang dijadikan sandaran oleh konselor. Yakni intuisi personal,
panduan etik yang dibakukan oleh organisasi profesi, prinsip etik, dan teori
umum tindakan moral.
a.
Intuisi personal
Kedekatan
perasaan konselor terhadap seorang klien. Pola piker intuitif personal berada
dalam diri konselor yang sangat esensial. Konseling adalah pekerjaan
yang sangat sulit dimonitori secara eksternal, dank arena itu snagnat
tergantung oleh kualitas moral seseorang.
b.
Panduan etik yang dibakukan oleh organisasi profesi
Kode etik ini dikembangkan bukan hanya untuk
melindungi klien dari pelecehan atau malpraktik yang dilakukan oleh konselor,
tetapi juga untuk melindungi profesi konseling dari campur tangan pemerintah
dan menguatkan kliannya untuk mengontrol bidang kepakaran profesi tertentu.
Komite kode etik dank ode praktik berfungsi menunjukkan kepada duni luar bahwa
konseling berjalan sesuai aturan, bahwa konselor dapat dianadalkan untuk
memberikan pelayanan professional.
c.
Prinsip etik
Terdapat 5 prinsip moral yakni otonomi, non
maleficence, kebaikan, keadilan, dan loyalitas.
Otonomi yakni kebebasan berfikir dan bertindak
dalam suatu problematika. Konsep eotonomian seseorang adalah kondisi ideal yang
jelas tidak akan dapat dicapai oleh banyak masyarakat dimana control dan
pemaksaan kehendak adalah sesuatu yang bisa terjadi. Dan konsep otonom ini
sangat penting dalam konseling sehingga banyak konselor yang menilai konseling
tidak akan terjadi kecuali apabila klien memilih dengan sukarela untuk
berpartisispasi. Tidak etis untuk memulai konseling kecuali klien
tersebut sadar apa yang sedang terjadi dan memberikan izin untuk
melanjutkannya.
Non malefience muncul pada bidang teknik
terapi yang beresiko dan berbahaya. Biasanya klien mulai merasa tidak nyaman
sepanjang sesi konsleing. Dalam teknik ini biasanya konsleor tidak menyadari bahwa
kliennya merasa tidak nyaman selama proses konseli.
Prinsip keadilan yakni psikolog harus memiliki
komitmen berlaku adil yang melampaui komitmen yang dibuat oleh orang-orang
biasa. Sepakat untuk mengutamakan harga diri dan kehormatan tiap individu, maka
kita diminta untuk memperhatikan ekualitas penanganan terhadap semuai individu.
Kondisi yang saling percaya dan menghormati merupakan fondasi hubungn
konsleor-klien yang tidak meudah dihancurkan oleh perilaku yang diskriminatif.
Loyalitas atau kesetiaan yakni aturan dalam
kerahasiaan dalam konseling juga merefleksikan nilai penting fidelitas.
Konseling yang berkaitan dengan kesetiaan adalah melaksanakan kontrak.
Praktisis yang telah menerima klien untuk konseling, secara eksplisit, maupun
emplisit telah emningkatkan kontrak untuk mendampingi klien dan membrikan usaha
terbaiknya untuk sebuah kasus.
Standar Etika
Prinsip Umum
a.
Boundaries of Competence
Kita
hanya memberikan layanan yang sesuai dengan training dan pendidikan yang kita
terima dan pelajari.
b.
Describing the Nature and Results of Psychological Services
a)
Beritahukan klien apa yang akan kita berikan dan lakukan
kepadanya. Setelah selesai, kita wajib memberitahukan kepadanya, supaya ia
tidak merasa dirugikan.
b)
Jika kita bekerja untuk suatu lembaga dan diwajibkan melapor
kepada lembaga itu, kita harus meminta izin kepada klien.
c.
Sexual Harrasment (pelecehan seksual)
a)
Tidak boleh melakukan pelecehan seksual, memikat klien secara
seksual, dan atau berperilaku yang bermuatan seksual.
b)
Kita tidak boleh membedakan klien berdasarkan jenis kelamin.
d.
Personal Problems and Conflics
a)
Kita tidak boleh membahayakan klien karena masalah diri kita
sendiri (misalnya, kita sedang marah kepada istri di rumah, lalu marah kepada
klien).
b)
Jika memunyai masalah pribadi, segera cari pertolongan (jangan
terlalu lama). Sementara itu, berhentilah sementara sebagai konselor.
e.
Avoiding Harm
Kita tidak boleh merugikan klien. Harus
menghindari gangguan.
f.
Misuse of Psychologists' Influence
Kita tidak boleh memberikan pengaruh untuk
menekan klien. Misalnya, memberi pertimbangan yang keliru demi kepentingan
kita.
g.
Multiple relationships
Kita tidak bisa menghindari persahabatan
dengan klien, namun jangan sampai persahabatan itu mengganggu dan merugikan
proses terapi kita. Bila perlu, jagalah jarak dengan klien.
h.
Barter (With Patient or Clients)
Dalam terapi yang serius, jangan menerima kado
atau hadiah dalam bentuk apa pun. Pemberian yang bersifat tidak anti-teraupetik
(membangun) boleh diterima dan harus dijaga agar tidak mengekploitasi hubungan
itu.[2]
Teori umum tindakan
moral
Dari perspektif “kebijakan” dalam pembuatan
keputusan moral, hal terpenting adalah menjaga diskusi tersebut tetap terbuka,
ketimbang memperkirakan adanay jawaban yang valid dan baku terhadap
moral.
Dengan mengidentifikasi serangkaian kualitas
personal yang harus di miliki oleh semua praktisi yakni[3]:
Ø Empati
Kemampuan untuk mengomunikasikan pemahaman
terhadap pengalaman orang lain dari perspektif orang itu sendiri.
Ø Ketulusan
Komitmen pribadi untuk konsisten terhadap apa
yang dinyatakan dan apa yang dilakukan.
Ø Integritas
Kesederhanaan, kejujuran, dan koherensi
pribadi.
Ø Fleksibilitas
Kemampuan untuk menangani apa yang menjadi
perhatian klien tanpa harus mengacuhkan secara personal.
Ø Rasa hormat
Menunjukkan keyakinan diri yang sama kepada
orang lain dan pemahaman mereka terhadap diri mereka sendiri
Ø Kesederhanaan
Kemampuan untuk menilai dan memahami kekuatan
dan kelemahan seseorang
Ø Kompetensi
Keterampilan pengetahuan efektif yang
dibutuhkan untuk melakukan apa yang di persyaratkan.
Ø Keadilan
Aplikasi criteria yang tepat secara konsisten
untuk menginformasikan keputusan dan tindakan.
Ø Kebijakan
Memiliki kemampuan untuk menilai sebagai dasar
untuk bertindak.
Ø Keberanian
Kapasitas untuk bertindak tanpa terpengaruh
rasa takut, risiko, dan ketidak pastian.
Aplikasi prinsip moral
dan kode etik dari teori ke praktik
Aplikasi kode moral dalam
praktik konseling menekankan lima daerah kesulitan utama yakni bagi siapa
konselor yang dianggap accountable, persuasi aktif dan tantangan, eksistensi
peran ganda, pelecehan dan eeksploitasi klien, isu yang berkenaan dengan
sentuhan.[4]
Hubungan ganda dalam
konseling dan psikoterapi terjadi ketika si terapis juga terlibat dalam
hubungan yang sama sekali berbeda dengan klien. Hubungan ganda dapat
menjadi masalah yang serius pada konseling dalam setting pendidikan. Bond
menunjukkan bahwa banyak konselor sekolah dan mahasiswa yang juga berperan
sebagai guru atau tutor, karena itu batasan-batasan antara peran-peran ini
harus jelas.
Eksploitasi seksual
Klien bates dan Brodsky (1989) memberikaan satu laporan seksual terhadap klien.
Dan kasus ini dipelajari secara mendalam. Yakni sebagai berikut
1.
Terapi yang efektif dapat mengandung fase diamana klien sangat
tergantung kepada konsleor, dan membuka diri untuk saran atau manipulasi.
2.
Dalam lingkaran hubungan konseli yang penuh rahasia, di
mungkinkan bagi konselor untuk melakukan perbuatan etis tidak etis dengan
kecenderungan yang sangat minim diketahui.
3.
Focus konsleing terhadap kepribadain dan sisi dalam kehidupan
klien mungkin akan berakibat klien menyalahkan diri sendiri dan merasa ketidak
mampuan dirinya terhadap apa yang terjadi.
4.
Klien yang mengalami pelecehan seksual oleh professional akan
sangat sulit untul menerima penyembuhan.
Cara menghadapinya dengan strategi untuk
menghadapi ketertarikan yakni dengan:
1.
Akui perasaan anda
2.
Pisahkan perasaan pribadi anda
3.
Hindari untuk mencari maslah klien yang bukan masalah anda
4.
Jangan pernah memberikan masalah anda kepada klien dll.
Isu
etika dalam penggunaan sentuhan harus secara tepat dan klinis yakni
1.
Klien ingin menyentuh dan disentuh
2.
Tujuan dari sentuhan jelas
3.
Sentuhan tersebut jelas ditujukan demi kepentingan klien
4.
Klien memahami konsep penguatan dan telah menunkukkan kemampuan
untuk menggunakan konsep ini dalam terapi
5.
Terapis memiliki dasar pengetahuan cukup tentang pengaruh
penggunaan sentuhan
6.
Batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh
klien dan terapis
7.
Cukup waktu untuk tetap berada dalam sesi terapi untuk memproses
interaksi sentuhan
8.
Hubungan terapis-klien berkembang dengan cukup
9.
Sentuhan dapat ditawarkan kepada semua tipe klien
10.
Konsultasi/Supervisi tersedia dan dapat digunakan
11.
Terapis merasa nyaman dengan sentuhan
Dan sangat tidak disarankan
secara klinis menggunakan sentuhan ketika :
1.
Focus dari terapis tersebut melibatkan kandungan seksual yang
berkaitan dengan sentuhan
2.
Adanya risiko kekerasan
3.
Sentuhan tersebut terjadi secara sembunyi-sembunyi
4.
Terapis dll.
KESIMPULAN
Nilai para konselor juga mempengaruhi nilai
yang dipegang oleh klien. Jadi nilai dalam konseling yakni : keyakinan kuat
bahwa suatu kondisi akhir adalahsesuatu yang bisa diterima.Sedangkan nilai dari
konselor mempengaruhi nilaiyang dipegang oleh konseli.
Kitchener (1984) mengidentifikasi empat level
pemikiran moral yang dijadikan sandaran oleh konselor. Yakni intuisi personal,
panduan etik yang dibakukan oleh organisasi profesi, prinsip etik, dan teori
umum tindakan moral.
Aplikasi kode moraldalam praktik konseling
menekankan lima daerah kesulitan utama yakni bagi siapa konselor yang dianggap
accountable, persuasi aktif dan tantangan, eksistensi peran ganda, pelecehan
dan eeksploitasi klien, isu yang berkenaan dengan sentuhan.
DAFTAR PUSTAKA
John McLEOD. Pengantar
konseling teori study kasus , Jakarta kencana 2010 cet ke 3
Simanjuntak
julianto, perlengkapan seorang konselor, Jakarta: layanan konseling
keluarga 2007
[2] Simanjuntak julianto, perlengkapan
seorang konselor, Jakarta: layanan konseling keluarga 2007 hlm 389-399
Sumber:
http://miftakhulfanani.blogspot.co.id/2014/10/moral-dan-etika-dalam-praktik-konseling.html